Jihye mencibir, "Terus aku harus jauh-jauh dari Kak Jimin, begitu?"

"Bukan begitu, Jiya ..." Jungkook menyentil kening ibu hamil tersebut. Setelah menerima suapan dari sang kekasih, Jungkook lantas melanjutkan, "Kau tahu maksudku. Pokoknya mulai sekarang hanya ada aku dan kau. Mengerti?"

Terkekeh kecil, Jihye kemudian mengacungkan satu ibu jarinya. "Mengerti, Tuan Jeon."

Jungkook bahagia sekali. Setidaknya kini ia bisa melihat senyum merekah dari wajah Jihye—tidak lagi tangis atau senyum kecut yang dipaksakan yang dulu selalu Jihye tampakkan karena mendengar ucapan menyakitkan darinya.

Pria Jeon itu patut bersyukur sebab ia memiliki wanita sebaik Jihye. Kalau bukan wanita itu, mungkin saat ini Jungkook sudah ditinggalkan dan tidak memiliki kesempatan lagi untuk memperbaiki kesalahannya. Lalu hidupnya akan dipenuhi oleh rasa penyesalan yang sangat amat besar. Entahlah, Jihye yang bodoh atau Jungkook yang beruntung. Intinya, Jungkook tidak akan lagi menyia-nyiakan wanita di sebelahnya saat ini. Cukup sudah ia melukai wanita yang sebenarnya ia cintai.

"Jiya ..."

"Hm." Jihye mendongak sebelum menyuapi Jungkook sekali lagi.

"Dulu, setiap malam aku selalu menangis di dalam kamar. Aku kesulitan tidur tanpa bantuan alkohol karena memikirkanmu." Jihye mengernyit. Ia tidak tahu sama sekali dengan fakat tersebut. "Setiap aku membuatmu menangis, di malam itu pula aku juga menangis dan menyalahkan diriku yang terlalu malu pada kenyataan. Aku mencintaimu, tapi tidak membenarkan jika kita bersama. Aku malu padamu waktu itu."

Suapan terakhir Jihye berikan pada Jungkook. "Kak Jung bilang tidak mau membahas yang sudah lalu," sahutnya. Wanita itu hendak berdiri untuk mencuci piring, tapi lengan kanannya dicegah oleh Jungkook sehingga membuatnya kembali menyentuh kursi. "Ada apa?"

"Kalau bukan karena kau menyerah dan meninggalkanku saat itu, mungkin sampai saat ini aku masih menjadi pria bajingan di depan matamu, Jiya." Pandangannya yang sayu turun ke perut Jihye yang tak lagi rata. Bibirnya lalu mengecup perut yang terlapisi jaketnya. "Mulai sekarang Papa akan menjaga kalian. Tidak ada yang boleh terluka satu pun kecuali Papa. Mengerti?" Jungkook mendongak untuk menatap Jihye yang sedang menggigit bibir bawahnya—mata wanita itu sudah berkaca-kaca lantaran merasa tersentuh dengan ucapan Jungkook.

"Jiya ... aku benar-benar mencintaimu."

Bibir atas dan bawah Jihye mengerucut. Air matanya luruh manakala Jungkook mengucapkan kalimat tersebut. Sungguh, sejak dulu Jihye ingin sekali mendengar kalimat tersebut dari bibir tipis Jungkook. Bukan hanya kalimat pembelaan dari Jungkook untuk Minjae yang seringkali melukai hatinya.

"Kak Jung, jangan buat aku menangis!" cicitnya lirih sebelum disambut oleh kekehan dan pelukan hangat dari Jungkook. Jemarinya mencubit pinggul Jungkook, lalu kembali berkata, "Aku juga cinta Kak Jung."

....

Siap dengan dress sebatas lutus berwarna merah muda, Jihye lantas turun dan berpamitan pada sang mama yang sibuk menyirami tanaman di halaman belakang. Jimin sudah menunggu di depan rumah—di dalam mobil Jungkook dengan satu lengan ditopangkan ke jendela mobil.

"Maaf, Kak Jimin ... aku mencari bedakku yang hilang, jadi sedikit lama." Jihye langsung berbicara setelah memasuki dan menutup pintu mobil. "Kak Jimin menunggu lama, ya?"

Jimin termangu sesaat. Pria itu lekas mengedipkan mata manakala telapak tangan Jihye mengibas di depan wajahnya. "A-ah, kau cantik."

Jihye tersenyum simpul. "Terima kasih! Kak Jim juga tampan." Jimin berdeham sembari membetulkan kerah kemejanya. "Tapi masih kalah tampan dengan Kak Jungkook." Pria Park itu mendadak memakai kacamatanya dan menyalakan mesin mobil—enggan menatap Jihye yang kini sibuk merapikan rambut.

Fiance ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang