Aurara menghela napas berat. Menyandarkan punggung ke tembok dan menatap gamang lorong rumah sakit yang terlihat lengang.
Kejadian hari ini sungguh tidak pernah Aurara pikirkan akan terjadi di waktu yang bersamaan. Aurara harus rela menanggung sebuah akibat dari apa yang bukan dia perbuat. Aurara juga harus rela meninggalkan orang yang sejujurnya masih dia sayang.
Hati dan pikiran Aurara tidak bisa tenang. Bernapas pun rasanya sesak. Sungguh banyak yang dia pikirkan. Namun Aurara bukanlah tipe orang yang gampang menyesali sesuatu. Saat memutuskan sesuatu, Aurara akan memikirkannya matang-matang. Ya meskipun terkadang merasakan sakit yang mendalam karena tidak siap menghadapi risikonya.
Lamunan Aurara terpecah saat tepukan di bahunya menyadarkannya. Aurara mendongak, didapatinya Ismail tengah menatapnya dengan alis berkerut.
"Kakak lagi mikirin apa lagi?" tanyanya seolah tahu jika kakaknya tengah melamunkan sesuatu.
Aurara menggeleng. "Gue laper. Gue mikirin rendang dari tadi," jawabnya.
Ismail berdecak. "Rendangnya nggak bakal tiba-tiba ada kalo cuma Kakak pikirin," ucapnya kemudian mengangkat kantong kresek berisi nasi bungkus. "Nih, kebetulan aku belinya lauk rendang. Ayo makan."
Aurara berseru senang. Mencoba untuk terlihat jika baik-baik saja. Cewek itu kemudian dengan cepat merangkul bahu Ismail untuk masuk ke dalam ruang inap nenek. Syukurnya, kemarin malam nenek baru siuman. Kondisinya masih belum stabil, namun tidak ada yang terlalu mengkhawatirkan.
Ismail membuka bungkusan. Mengeluarkan tiga bungkus nasi padang yang dibelinya di rumah makan padang di depan Rumah Sakit dan tiga plastik teh hangat. Saat hendak membuka nasinya, Ismail teringat sesuatu.
"Kak, di sini kan nggak ada sendok."
Aurara menoleh. Mengedikkan bahu lalu beranjak berdiri menuju wastafel. Setelah cuci tangan Aurara kembali duduk dan bersiap menyantap nasinya. Namun sebelum itu dia menatap Ismail yang masih diam.
"Gih sana cuci tangan. Makan pake tangan aja," ujarnya.
"Nggak ah. Aku pinjem sendok di kantin aja ya," tolak Ismail.
"Alah kelamaan. Udah pake tangan aja, sih. Lo nggak lagi pake kutek, kan sampe nggak mau makan pake tangan?" curiga Aurara. Dia sampai mengecek kuku Ismail.
Ismail mendecak sebal. "Emangnya Mail tuh Kakak pake kutek segala?!" kesalnya yang membuat Aurara tertawa.
"Yaudah, apa mau gue suapin?"
"Mau!"
"Ogah deh. Hahahaha."
Ismail seketika memasang raut datar. Beranjak berdiri untuk mencuci tangan. Mereka pun makan bersama. Sudah tiga hari ini Aurara dan Ismail tidak makan masakan nenek. Dan mereka sudah rindu masakan nenek. Sudah tiga hari ini juga mereka hanya sarapan hingga makan malam membeli di warung. Sejujurnya mereka tidak terbiasa memakan makanan di luar rumah. Karena nenek selalu menyediakan makanan yang lezat di rumah.
"Mbak Nay kemana?" tanya Aurara sembari mengunyah.
"Dipanggil Dokter tadi," jawab Ismail.
"Ngapain?"
"Meneketehe."
Hingga beberapa detik ke depan hening. Aurara sedang tidak mood untuk mencari topik perbincangan lagi. Sementara Ismail, di sekolah diajarkan untuk tidak berbicara saat makan. Pamali.
Ceklek
Pintu ruangan tiba-tiba dibuka. Bukan Naysa. Melainkan wanita setengah baya yang menenteng kotak besar buah-buahan. Wanita dengan setelan kemeja rapi itu kemudian meletakkan kotak buah ke meja samping ranjang nenek. Dia menatap nenek cukup lama. Mengelus sekilas rambut putih nenek yang tengah tertidur kemudian beranjak menghampiri Aurara dan Ismail.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaka&Rara [Completed]
Teen Fiction[DISARANKAN FOLLOW TERLEBIH DAHULU BIAR KEREN KAYAK SAYA] ___________ Brukk Tubuh Kaka ambruk saking terkejutnya. Aurara, cewek itu tiba-tiba melompat naik ke punggungnya, yang otomatis membuat Kaka tersungkur ke depan karena sama sekali tidak siap...