TUJUH PULUH SEMBILAN

7.7K 326 13
                                    

Don't forget for vote and comment..

Enjoy the story :)

________________________________

TANAH luas itu seperti sebuah penyiksaan bagi Naura. Menyaksikan bagaimana tubuh suaminya dimasukkan kedalam liang lahat, membuatnya dirinya tak berdaya. Air matanya bahkan tak pernah berhenti sejak kemarin, menangisi kepergian suaminya yang begitu menyakitkan. Suara adzan berkumandang jelas ditengah kepiluan dan kesedihan banyak orang, bersahutan dengan isak tangis yang tak kunjung reda.

Perutnya sedikit sakit karena pergerakan bayinya yang sedikit lebih aktif dari biasanya. Mungkin anaknya juga tengah merasakah kesedihan yang sama seperti ibunya. Dengan lembut, tangannya terangkat dan mengusap perutnya lembut, berharap bayi didalam perutnya bisa sedikit lebih tenang. Kedua anaknya ternyata memiliki nasib yang sama. Keduanya tak pernah bisa bertemu dengan ayah mereka secara langsung.

Dulu Celixto pergi terlebih dahulu bahkan sebelum bertemu dengan ayahnya, meskipun dia masih berharap jika putranya masih hidup hingga saat ini. Ingatannya yang telah kembali, membuat harapan itu semakin nyata baginya meskipun dia sendiri tak yakin dimana wanita itu sekarang. Dan sekarang, bayi di dalam kandungannya pun tak bisa bertemu dengan ayahnya karena ayahnya sudah pergi untuk selamanya.

Kenapa takdir begitu menyakitkan seperti ini?

Satu persatu papan diletakkan didalam makam untuk menutupi jasad suaminya. Tubuh yang dulu menjadi pelukan ternyamannya, kini sudah terbalut dengan kain putih, terikat dan membalutnya. Wajah yang biasa tertidur menghadapnya pun kini menghadap tanah, selaras dengan arah kiblat. Hatinya semakin sakit melihat tubuh suaminya yang tertutup papan kayu, membuatnya tak bisa lagi menatap tubuh tegap itu.

Naura hampir saja terduduk diatas tanah jika saja ayahnya tidak memeluknya. Dipelukan ayahnya, Naura kembali terisak keras. Tangannya meremas ujung baju ayahnya, tak kuasa lagi menahan sakit didalam hatinya. Usapan lembut terasa di punggungnya lembut. Orang-orang mulai menatapnya prihatin dan juga sedih. Mereka tentu saja merasa kasihan pada Naura, ditinggal selamanya oleh suaminya disaat tengah hamil. Pasti hal yang sangat berat dan juga menyakitkan.

Kevin dan Kenzo ikut menangis, merasakan kesedihan yang sama seperti sahabat mereka. Perlahan Kevin berdiri dibelakang Naura dan Bagas, memayungi keduanya dari sinar matahari yang menyengat. Tangannya mengusap pelan bahu Naura yang bergetar hebat. Kenzo menepuk pundak Herwit perlahan saat pria itu tak kuasa lagi menahan air matanya. Sedangkan Herwit hanya bisa menatap kuburan tuannya dari atas kursi rodanya, penuh air mata.

Naura mengusap air matanya, mencoba menguatkan hatinya supaya bayi didalam kandungannya bisa lebih tenang. Bagaimana pun, pergerakan bayinya yang lebih aktif seperti ini disebabkan oleh pikirannya juga, jadi dia harus bisa sedikit tenang agar tidak terjadi sesuatu pada bayinya. Hatinya memang sakit, tapi dia juga tidak boleh membahayakan bayi didalam kandungannya.

Rayyan, Ragata, dan juga Juna naik keatas setelah meletakkan jenazah suaminya. Perlahan, beberapa orang mulai mengubur lubang tersebut dengan tanah hingga tertutup sepenuhnya, dan setelahnya seorang ustadz mulai membacakan doa yang diikuti oleh yang lainnya.

Tangan Naura masih bergetar saat menaburkan bunga diatas makam suaminya. Matanya menatap lekat nisan bertulis nama suaminya itu dengan lekat dan kembali menangis. Naura menjatuhkan tubuhnya diatas tanah, kembali terisak sambil menyentuh nisan suaminya. Para pelayat sudah pergi, menyisakan keluarganya dan beberapa sahabat suaminya.

Naura merasakan pelukan hangat dari Aleta dan juga Anan di tubuhnya, dengan ucapan-ucapan penuh makna untuk menguatkannya. Belum lagi dengan tatapan hangat yang diberikan oleh ibunya, yang baru saja menenangkan Saphire.

Rasanya masih begitu menyakitkan, sangat menyakitkan. Semuanya terasa seperti mimpi baginya yang tak benar-benar terjadi. Dia berharap jika semua ini hanya mimpi buruk yang akan hilang saat dia benar-benar terbangun nanti. Celo tidak mungkin meninggalkannya secepat ini, pria itu sudah berjanji untuk terus berada di sampingnya dan tak akan pernah meninggalkannya. Ini semua tidak benar-benar nyata, Celo tidak mungkin meninggal.

"Kau kuat, Naura. Ikhlaskan kak Celo." Aleta memeluk Naura hangat. "Biarkan kak Celo tenang disana."

"Iya, Naura." Anan menimpali. "Kematian adalah takdir mutlak yang akan terjadi pada setiap manusia. Kau harus bisa mengikhlaskan kak Celo, aku tahu memang sangat berat, tapi aku yakin kau pasti bisa. Demi anakmu, Naura. Demi bayi didalam perutmu."

"Kak Anan benar, Nau. Masih ada anakmu yang harus kau pikirkan."

Naura menatap kearah perutnya. Ya, dia masih punya anaknya saat ini. Anaknya adalah bagian dari diri suaminya, dan dia tidak mau kehilangan anaknya juga. Tapi untuk saat ini, dia tidak bisa menahan rasa sakitnya. Kepedihan juga kesedihannya karena ditinggalkan oleh orang yang dicintainya masih sangat menyakitkan, luka yang dimilikinya masih basah dan terbuka.

"Naura, kita harus pulang sekarang, sayang. Kau harus beristirahat." Farah menghampiri putrinya

Naura tidak mengiyakan apa kata ibunya, namun tubuhnya tak menolak saat Aleta dan Anan membantunya untuk berdiri. Ditatapnya sekali lagi nisan yang bertuliskan nama suaminya dan merapalkan dalam hati jika dia harus bisa mengikhlaskan kepergian suaminya. Dia akan mulai mengatur kembali hidupnya, dan mengurus bayinya sebaik mungkin.

Akhirnya, semuanya kembali ke rumah, termasuk Aleta dan Anan yang ingin menemaninya. Sesampainya dirumah, Naura langsung menuju ke kamar dan rasa sakitnya kembali menjadi karena di tempat itulah dia banyak menghabiskan waktu bersama Celo. Momen-momen kebersamaan mereka, juga romantisme mereka banyak terukir dikamar tersebut. Bahkan seluruh benda didalam kamar seakan menyimpan memori tentang Celo.

Naura menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang setelah mengunci pintu. Kondisi diluar kamar cukup ramai karena semua orang tengah makan bersama, cukup berbeda dengan kondisi didalam kamar yang begitu hening. Hanya ada kesunyian didalam sana yang menyelimuti Naura saat ini.

Naura membaringkan tubuhnya dan memejamkan matanya perlahan. Napasnya terhela panjang penuh beban. Dia ingin tidur sejenak, melupakan rasa sakitnya dan mengikhlaskan kepergian suaminya. Dia butuh tidur dan membiarkan tubuhnya beristirahat karena sejak kemarin air matanya terus mengalir. Tangannya mengusap perutnya perlahan, mencoba berkomunikasi dengan bayi di dalam kandungannya.

"Nak, mulai sekarang, mama akan menjagamu." Naura meraih ponselnya dan membuka foto Celo yang tersimpan disana. "Aku minta maaf, kak. Aku mencintai kakak sampai kapanpun, dan aku berjanji aku akan menjaga anak kita sebaik mungkin."

Karena dia adalah bagian dari dirimu.

Come To You - #2 [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang