Enam

37.9K 2.4K 194
                                    

"Nggak bisa Bar, minggu depan gue harus ke Bandung!"

Sudah dua jam lebih, aku dan Bara terus mendebatkan hal yang sama, namun tidak juga menemui titik terang. Berhubung sifat kami yang sama-sama keras kepala, jadi aku sendiri pun tidak tahu sampai kapan perdebatan ini akan berakhir.

Setelah gagal mengajari Zio main sepatu roda, akhirnya aku dan Bara memutuskan untuk kembali ke kontrakanku. Untungnya Bang Wira langsung paham kalau aku dan Bara butuh berdiskusi mengenai rencana minggu depan. Dengan begitu, Bang Wira dan Ben berhasil membujuk Zio agar bocah itu tidak ikut.

"Ketemu klien kan bisa di-reschedule ulang, Bi. Kamu ngalah dong, sekali-kali. Ini mau ketemu Eyang kamu juga lho, Bi!"

"Kok jadi aku yang harus ngalah sih? Suruh siapa kamu bilangnya telat! Emangnya aku jni pengangguran yang bisa kamu ajak pergi mendadak kayak gitu? Justru malah tiap weekend, aku lebih sibuk dari pada weekdays!" bantahku dengan urat rahang yang tegang. Tidak lupa pelototan kesalku pada Bara karena nyebelinnya nggak habis-habis.

"Terus, kalo kamu ke Bandung sama siapa?" tanya Bara akhirnya.

"Sama Baravan. Tadinya aku emang mau bilang hari ini." jawabku cuek.

"Pede banget kamu mau ngajak Baravan ke Bandung tapi baru bilang hari ini? Emangnya Baravan itu pengangguran yang bisa kamu ajak pergi mendadak kayak gitu?"

Sial. Bara malah membalik kata-kataku sendiri.

"Alah, biasanya juga aku ajak kamu sehari sebelumnya tetep bisa tuh!" cibirku.

Selama menjalankan bisnis PantheaShoes ini, Bara memang over protective banget. Dia nggak pernah sekalipun mengijinkan aku ke luar kota sendirian. Kalau Adara tidak bisa menemani, dia selalu rela mengajukan cuti untuk menemaniku. Yah, meskipun seringnya aku ke Bandung saat weekend, dia tetap nengajukan cuti di hari senin, agar bisa sekalian liburan dulu katanya.

"Kenapa nggak Adara aja sih yang pergi? Bisnis ini kan owner-nya bukan kamu doang. Masa yang mondar-mandir ke luar kota kamu doang? Bulan kemarin juga kamu kan, yang ke Bandung?" sungut Bara.

"Berapa kali aku bilang sih, Adara itu pacarnya lagi sakit, Bara ganteng! Dia mesti jagain pacarnya di rumah sakit!"

"Manja banget sih, pacarnya! Baru juga pacaran, belom nikah!"

"Coba kalo kejadiannya dibalik. Kamu sakit tifus di rumah sakit, tapi aku harus ke Bandung. Padahal sebenernya ada Adara yang bisa ke Bandung, tapi Adara malah pacaran ke Semarang."

"Kita ke Semarang kan nggak mau pacaran!" bantahnya.

"Iya, tapi kan intinya ketemu keluarga kamu yang sebenarnya belum penting-penting amat!"

"Barusan kamu bilang keluargaku nggak penting?" Pertanyaan Bara yang dilontarkan dengan nada tinggi itu sepertinya sengaja dia pakai untuk menguji kesabaranku.

Tanpa menyahuti apapun, aku memilih beranjak dari sofa, dan berjalan menuju dapur. Sepertinya aku perlu menyiram kepalaku dengan segayung air es, agar emosiku lebih cepat reda.

Aku mengambil sekaleng minuman dari kulkas, dan meneguknya di meja makan. Bara mengikutiku dan ikut duduk disebelahku. Tatapannya sudah kembali datar, seperti biasanya.

"Lo mau minum juga?"

"Tadi udah bagus ngomongnya pake aku-kamu. Kenapa balik jadi gue-elo lagi sih?" sungutnya.

"Lo tuh kenapa sih hari ini? Hawanya ngajak berantem terus, heran deh gue!"

"Kamu tuh yang aneh! Apa susahnya sih ngomong pake aku-kamu doang?"

Come Back to Bed 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang