"Bukan berharap selalu ada, karena sungguh aku tidak ingin bergantung kepada manusia. Harapanku adalah Allah."
-o0o-
Afsin menyisir rambutnya pelan. Diam beberapa saat, memutar kembali bayangan yang semenjak kemarin terus terekam dipikirannya. "Sungguh maafkan hamba-Mu ini yang kurang berhati-hati dalam menjaga diri ." Afsin menatap pantulan dirinya didepan cermin, mengusap rambutnya menahan tangis.
"Kak," seorang pria memasuki kamar gadis itu. "Aku lihat kakak dari kemarin murung, ada apa?"
Afsin menggelengkan kepalanya sebagai isyarat tidak ada apa-apa.
"Benarkah?" tanya pria itu lagi untuk memastikan tidak ada sesuatu yang terjadi pada kakaknya itu.
"Ah! Aku melupakan sesuatu," Afsin menatap Arya penuh tanya. "Sejak kapan seorang Afsin Arisa mau bercerita? Rasanya hidupnya hanya sendiri, bahkan nyaris penuh misteri." lanjut pria itu menjatuhkan dirinya diatas ranjang.
"Dan sejak kapan kamu kepo sama urusanku hah?" Afsin menyatukan rambutnya lalu mengikatnya menjadi satu menatap pria itu tajam.
"Bukan kepo, hanya ingin tahu aja. Soalnya nggak biasanya kakak pulang sekolah langsung ke kamar, dan nggak bantuin bunda masak. itu saja," Afsin memutar bola matanya jengah. "Apa bedanya kepo sama pengen tahu? Nggak mau tempe?"
"Recehnya datar," desis pria itu lalu melangkah keluar dari kamar Afsin.
Afsin mengikuti pria itu keluar, sebelumnya iya memakai jilbab coklatnya lalu melangkah keluar dari kamarnya, menatap punggung pria itu yang tengah berada dibawah bersama kedua orang tuanya. Gadis itu berjalan mendekatinya lalu duduk disebelah pria paruh baya yang tengah menyesap tehnya, langsung menyenderkan kepalanya dibahu pria itu.
"Bagaimana sama nak Irsyad?" Afsin langsung menoleh, menenggakkan tubuhnya menatap ayahnya intens.
"Ngapain ayah tanyain dia ke aku?" pria itu terkekeh, begitupun dengan wanita yang tengah melahap kue coklat buatan anak perempuannya. "Bunda kira nak Irsyad naksir sama kakak," wanita paruh baya itu menambah mood-nya tambah menurun.
Afsin bangkit dari duduknya lalu melangkah memasuki kamarnya meninggalkan keluarganya yang tengah terkekeh menatap kepergian anak perempuannya.
"Kakak pamit mau keluar bentar," lanjut gadis itu meraih gagang pintu depan rumahnya. "Assala---"
"Assalamu'alaikum bunda, ayah. Arya mau ikut kakak," lanjut pria itu berlari ketempat dimana kakaknya itu berdiri.
"Ngapain ikut?" tanya gadis itu setelah membuka gerbang.
"Aku tahu kakak mau ke tempat penjual es krim depan kan? Aku juga lagi pengen, jadi lebih baik aku ikut kakak kan daripada nitip dibeliin?" Sebenarnya adiknya itu memang pengertian, tapi kenapa dia sering membuat gadis itu kesal?
Arya berjalan disebelah Afsin dengan kedua tangannya didalam saku celana, "tumben ngga nge-game?" desis gadis itu tanpa menatap kearah Arya.
"Aku nggak mau kacangin kakak," ucapnya sambil terkekeh.
Afsin tak menyahutinya lagi, mereka berjalan beriringan tanpa suara. Sesampainya disana Afsin langsung memesan es krim strawberry dan es krim coklat untuk Arya yang tengah duduk dibawah pohon.
"Makasih kak," ucapnya setelah Afsin sodorkan es krim kesukaannya itu. Afsin duduk disebelah pria itu, memandangi wajah sang adik yang entah sejak kapan berubah. Ia baru menyadarinya bahwa adiknya itu telah tumbuh menjadi seorang pria yang tampan.
YOU ARE READING
Itsnani A [TAHAP REVISI]
SpiritualBANYAK BAGIAN YANG DIUBAH⚠️ Di suatu saat aku berada ditahap menyadari bahwa jatuh hati tidak dapat memilih, Allah telah memilihkan dan menakdirkan kamu untukku. Dia yang memulai dengan iman, yang berbalut sabar, yang bersulam dengan takwa, bergadin...