delapan || merah, kala, pili

43 11 0
                                    

"Maaf bikin kau nunggu lama, Aramba tapi, mulai sekarang, kita gak bisa berteman lagi. Jauhi aku."

Di hadapanku, pada sudut balkon tengah yang kosong di lantai tiga, ada Rinjani yang duduk di kursi yang memunggungi koridor yang sepi. Aku terkekut. Apa lagi ini? Kenapa tiba-tiba Rinjani berlaku aneh? Maksudku, tadi aku dihadapkan dengan masalah Pijak, dan sekarang dengan Rinjani. Aku heran.

Di bawah kami, pada lapangan upacara yang biasanya ramai, tak ada satu pun siswa yang berjalan membelahnya karena, bel pulang sudah berbunyi satu jam yang lalu. Dan setelah pulang sekolah tadi, OSIS menyelenggarakan rapat selama empatpuluhlima menit hingga, aku harus menunggu Rinjani di sini sejak jam terakhir selesai.

Lantas, kulihat Rinjani yang menunduk, mengembuskan nafas, lalu kembali mendongak. Alih-alih menatapku, matanya justru menatap pilar-pilar yang berdiri di sepanjang sudut balkon.

"Mulai detik ini," katanya, "kita gak duduk sebangku lagi, gak jalan bareng lagi, gak bersama-sama lagi, gak saling bicara lagi."

Aku terkesiap, hatiku mencelos. Sedari dulu, ada hal yang paling kutakutkan dan, ternyata itu terjadi hari ini. Dan ketika kalimat pertama Rinjani tadi meluncur, aku hanya diam. Apa maksud Rinjani berkata seperti itu padaku? Kenapa tiba-tiba dia bersikap aneh yang teramat sangat? Batinku kembali bergolak.

Sambil mengangguk, setelah sembilan detik hening, kuputuskan untuk menggerakkan lidah demi menghasilkan suara. Tapi, yang meluncur, ternyata bukan suara lantang yang membuat kesan intimidasi, namun hanya kalimat yang penuh ketersendatan, dan bergetar-getar;

"Oke, kalo itu yang kau mau, ya silakan."

Pada kerudungnya yang bergerak-gerak karena angin di ketinggian tujuhbelas meter, kulihat Rinjani yang membuang muka, menatapku tiba-tiba. Matanya terbelalak.

"Aramba! Jangan pura-pura, deh! Aku tau kau ini munafik! Sok nerima keadaan padahal nyatanya enggak! Bukan cuma itu, ada banyak alasan kenapa aku gak mau lagi berteman sama kau, Aramba. Sadar! Kau—"

"Aku gak pernah menanyakan alasan kenapa kau mau berhenti berteman denganku dan aku juga gak butuh alasan-alasan, Rinjani," repetku. "Aku tau kau lagi ada masalah, jadi kau terpaksa bilang gitu. Iya, kan?"

Rinjani seperti mau merepet perkataanku ketika kulihat dia membuka mulut. Tapi, aku malah lebih dulu berbicara; "Gini, deh. Kalo kau niatnya mau bikin aku terpicu untuk tanya kenapa, oke, aku akan tanya kenapa." Kutatap Rinjani tajam. "Kenapa kau mau berhenti temenan sama aku, Rinjani?"

Rinjani mendengus, kulihat dadanya naik turun dan, dia siap menyercaku, kata demi kata:

"Aku tau kalau keluarga kau masih nyimpan tradisi kuno Bugis, suka bermain sihir, main-main sama jin, percaya pada hal metafisika, menyesatkan! Tapi jangan kau juga yang ikut-ikutan jejak keluarga kau itu, Aramba!"

Aku mengernyit, kutatap Rinjani. "Rinjani, kau—"

"Jadi benar kau yang kemarin peletin Pijak demi balas dendam sama Nuari? Sadar, Aramba, perbuatan kau itu salah sepenuhnya! Kemarin Pijak, sekarang Asati, apa belum cukup dengan merenggut Pijak dari Nuari? Kutanya, kau apakan Asati?"

Lagi-lagi, aku mengernyit. "Asati? Cewek yang berantem sama aku waktu itu? Dia kenapa?"

"Jadi kau gak tau apa-apa?" kata Rinjani, nadanya meremehkan. "Jangan pura-pura gak tau, deh!"

Nada meremehkan itu, menyulut emosiku, tapi masih bisa kuatur supaya tidak meledak. Kuhela nafas, lalu bilang, "Ya, aku emang gak tau apa-apa, Dewi Anjani."

Rinjani berdecih, lantas kulihat dia merogoh sesuatu dari tasnya dan—

"Kalo kau gak tau apa-apa lantas kenapa benda ini bisa ada di tas kau tadi pagi?!"

lestar-ï-skariotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang