satu.dua || marauleng we tenriabeng

75 11 2
                                    

Pada lapangan yang dipenuhi kerumunan siswa yang berbaris, yang menatapku dalam kening yang mengernyit dan pandangan yang menisbahkan seakan aku ini menjijikan, aku berdiri di tengah-tengah lapangan upacara bersama Asati di sebelah kananku.

Kugenggam mic yang ada di antara jari-jari dengan kuat, seolah-olah seluruh hidupku bergantung padanya, dan aku mengembuskan nafas, lalu menunduk, lalu mendekatkan mic itu ke arah bibirku, dan berkata;

"Saya Aramba Rahasia Lestari, siswi kelas 11 IBB, meminta maaf kepada teman-teman karena sudah melakukan tindakan yang tidak seharusnya saya lakukan sebagai siswi SMA Naracitra Atla. Dan saya berjanji, tidak akan terlibat keributan apa pun lagi dalam alasan apa pun dan bagaimana pun," aku menahan nafas sejenak, lalu mengedarkan pandanganku ke seluruh lapangan, dan terpaku pada Rinjani, yang berdiri di samping seorang cowok berpakaian rapih di sebelahnya, dan kemudian kubilang, "di dalam maupun di luar sekolah."

Dan setelahnya, aku mengeluarkan nafas yang panjang, dan memberikan mic itu ke Asati, yang menerimanya tanpa sudi melirikku walau sedikit.

Dan Asati mengatakan hal yang sama.

Dan upacara selesai.

Dan hukuman dari Bu Ratikni sudah kulakukan.

Dan setelahnya, pada mentari yang mulai tertutupi awan-awan lembut, siswa-siswa yang berbaris itu bubar dan, lapangan upacara seketika dipenuhi kerumunan siswa yang berlalu-lalang.

Dan aku berjalan menembus mereka yang menatapku sekilas lalu menghiraukan.

Meski tengah berada di keramaian, aku merasa terasing. Dan siswa-siswa yang berpencar itu, aku tidak tahu isi hati mereka. Yang pasti, aku masih sama; berjalan dengan hati yang kosong, dengan kepala yang dipenuhi suara-suara yang menyesakkan, yang membuatku kehilangan asa untuk bertahan, dan kurutuki takdirku yang bisa-bisanya jadi seperti ini.

"Aramba! Tunggu!"

Suara itu, kala mendengarnya, aku tidak menoleh karena sudah kutahu siapa pemiliknya: Rinjani. Jadi, kubiarkan saja dia melangkah mengejarku karena, aku sudah terlalu kelelahan hingga menoleh saja, rasanya tidak kuat.

"Aramba," kata Rinjani ngos-ngosan, setelah berhasil melewati keramaian, senggol sana senggol sini, dia lantas menyejajarkan langkahnya dan menarik lenganku. "Ikut aku sebentar."

"Ke mana?"

"Rumah kaca."

Aku tak menolak, kuikuti Rinjani tapi kubilang, "Ya udah, tapi jangan tarik-tarik tanganku."

Setelah sampai di rumah kaca, yang isinya tanaman dengan jenis yang beraneka ragam, aku bersandar di tiang tengah seraya menghadap Rinjani. "Ada apa?" kataku.

Rinjani menghela nafas. "Kau bisa gak, sih? Gak usah ladenin makhluk-makhluk yang suka nge-bully?"

Aku melipat tangan di dada, lalu mendongak ke atas dengan bosan. Kabar buruknya; selain fakta bahwa Rinjani adalah temanku satu-satunya di sekolah ini yang memperlakukanku seperti halnya manusia normal, Rinjani juga kalau sudah mulai menceramahiku, pasti akan panjang lebar dan membuatku tak berkutik.

"Oe, ikan teri!" repet Rinjani, mulai kesal ini anak. "Denger gak, sih? Aku-"

"Heh!" kilahku, mendengus dan menatap Rinjani. "Aku gak kurus kaya ikan teri, ya! Lagian aku harus apa? Diem aja? Aku juga nanemin pada diriku supaya gak ngeladenin mereka, Rinjani, tapi nyatanya aku selalu gatel! Enggak tangan enggak mulut, aku gak bisa nahan itu. Dan ujung-ujungnya, dengan reaksiku atas tindakan mereka, malah aku yang jadi sasaran jadinya!"

Rinjani mengembuskan nafas kulihat. Dan setelahnya, dia mengenyit, dan menatapku lekat-lekat, lalu terbelalak kemudian berjalan ke arahku lalu, meraih pundakku.

lestar-ï-skariotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang