[AG] - Nineteen

790 79 19
                                    


Perasaan itu masih melekat. Rasa baru yang muncul untuk pertama kali di dalam hidup Andhika. Detakan jantung yang cepat, juga wajah cewek itu yang menangis di hadapannya.

Andhika begitu bingung, sebenarnya rasa apa yang dialaminya saat ini. Mengapa begitu melihat wajah Alza yang menangis di depannya, Andhika merasa seperti ... iba?

Padahal, dulu Veli atau Mila sering menangis di hadapannya. Meskipun saat itu Andhika juga merasa kasihan, tapi perasaan itu berbeda dengan yang dia rasakan ketika melihat Alza menangis. Entah apapun itu, Andhika jadi kesal sendiri karena tidak mengerti apa arti dari perasaaan itu.

Cowok itu kembali berjalan menuju bus-setelah sebelumnya sempat berhenti di depan pintu villa. Setelah kejadian di mana Andhika menakuti Alza, cewek itu tanpa berbicara langsung pergi meninggalkan Andhika. Andhika sendiri malah memegang dadanya di mana letak jantungnya yang berdetak sangat cepat.

"Sial, apaan sih nih." Bahkan semenjak itu juga tak hentinya Andhika terus menggerutu. Ketika cowok itu sudah sampai di dekat bus, Andhika melihat Veli, Alza dan Sarah tengah menaiki bus yang akan membawa mereka kembali ke kota Jakarta.

Andhika dengan wajah datarnya, menatap Alza yang menaiki bus. Semakin dia berusaha untuk mengerti, semakin Andhika tidak dapat tahu jawaban atas pertanyaannya.

"Woy! Ngapain lo diem di sini?"

Andhika hanya menatap datar Fauzan yang barusan menepuk bahunya. Disusul dengan Farid dan Dani di belakang Fauzan.

"Ahhh, akhirnya kembali ke rumah. Udah kangen pengen tidur di kasur," kata Farid dengan kedua tangan merentang ke samping.

"Besok sekolah woy! Awas aja lo telat," peringat Dani, yang membuat Farid mendengkus kesal.

"Elah, pake diingetin."

Farid lalu berjalan menuju bus diikuti Fauzan di belakang. Sementara Dani akan melangkah, sebelum matanya melihat Andhika yang hanya diam saja.

"Lo kenapa diem aja?" tanya Dani.

Andhika meliriknya sekilas. "Nggak."

Dani menatap Andhika bingung, sebelum akhirnya melangkahkan kaki dengan ragu.

"Dan," panggil Andhika membuat langkah Dani terhenti. Cowok itu menoleh menatap Andhika dengan kedua alis terangkat.

Andhika membuka mulutnya, namun mengatupkannya lagi. Merasa ragu untuk bertanya pada Dani perihal yang dirasakan oleh hatinya.

Sementara itu, Dani menunggu ucapan Andhika. Tapi cowok itu malah diam saja. "Kenapa, Dhik?" tanyanya.

"Nggak jadi." Andhika lalu berjalan menjauhi Dani.

Dani hanya menatap Andhika bingung. Tapi percayalah, di antara mereka berempat hanya Dani saja yang paling peka terhadap sekitar. Apalagi menyangkut ketiga temannya.

"Kalo ada hal yang pengen ditanyain, tanyain aja ke gue, Dhik. Atau mungkin ada sesuatu yang mengganjal hati lo, bisa kok lo bilang ke gue. Mungkin gue bisa ngebantu lo."

Andhika menoleh ke arah Dani, dia lalu tersenyum tipis pada teman yang sudah berada di sisinya selama sepuluh tahun itu. "Iya, Dan. Gue pasti bilang ke lo. Tadi, gue emang nggak jadi aja pengen nanya sama lo, karena emang nggak penting."

Dani mendekat, dan merangkul bahu Andhika. "Walaupun nggak penting, yang namanya sesuatu yang bikin hati jadi nggak enak, jangan dipendam sendiri. Lo bisa kasih tau gue atau yang lain. Lo kebiasaan sih, selalu mendam masalah sendiri. Emang enak kayak gitu, heh?"

"Hm, ya enak nggak enak," jawab Andhika lalu terkekeh. Mengundang Dani untuk ikut terkekeh.

Keduanya lalu masuk ke dalam bus. Dan beberapa menit kemudian, bus melaju menuju kota Jakarta.

Andhika's Girlfriend [Completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang