[ 7/10 ]Selesai mengganti baju, Dea berjalan dengan malas ke arah dapur. Ia sudah disambut beberapa cucian dengan sisa makanan. Baru saja sampai, ia sudah bersiap bertempur lagi dengan kerjaan.
Tubuhnya terasa loyo, seakan tidak ada gairah untuk melakukan aktivitas apapun. Mengusap cucian pun lemas serta kantung mata yang menghitam karena tidak tidur malam. Ia baru bisa terlelap selepas adzan subuh. Pikirannya terkuras antara kerjaan, Reyhan, dan ... Atha.
Selepas kepergian Reni dari apartementnya, sang Mama meraung-raung lewat panggilan telepon, menyalahkan karena ia jarang menghubungi. Lagi-lagi bertanya soal kerjaan. Mau tak mau, ia mengaku sebagai tukang cuci piring. Namun, apalah daya saat Mamanya kembali protes. 'Jauh-jauh merantau hanya untuk bantu orang cari uang', sedangkan selama di Bandung ia jarang bekerja di rumah.
Reyhan pun kembali menchatnya lewat nomor yang sudah terlanjur Reni beri sejak kemarin. Ia menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya beberapa bulan silam. Sayangnya, rasa percaya yang Dea beri dengan sukarela pada Reyhan sudah mati membusuk. Tanpa pikir panjang ia langsung memblock kontak pria tersebut.
Setelah masalah Reyhan yang sampai sekarang belum selesai. Ia kembali teringat pada Atha. Atha sudah minggat. Dan ia tak tahu apa Atha akan kembali atau mungkin sudah jera dan tak mau balik lagi. Ia hanya sedikit kecewa karena merasa dibohongi. Jika saja Atha itu jujur, sudah pasti ia akan memberi kesempatan untuk memaafkan. Sedang sekarang, saat Atha berucap maaf pun, ia sudah muak duluan. Alhasil ia tak bisa tidur memikirkan tiga masalah bedebah tersebut.
"Kenapa atuh, Neng? Lemas gitu," sahut ibu Tati yang bertubuh tambun.
Dea menoleh dengan senyum tipis. "Nggak papa, Bu. Kurang tidur."
"Eh, nggak boleh gitu atuh, Neng. Tidur jangan larut malam, bahaya buat kesehatan. Apalagi eneng masih muda. Kan, sayang kalau banyak penyakitnya di usia muda. Kalau sama anak ibu, kamu itu bakal dimarahi. Anak ibu, tuh, uuuuh. Perhatian banget sama kesehatan. Kalau ibu sakit sedikit juga, bawelnya udah minta ampun suruh jaga makanan sampai ke senam rutin setiap minggu bla bla bla ...."
Dea tersenyum mendengarkan ibu Tati yang terus menceritakan bagaimana perhatian anaknya terhadap kesehatan. Namun, ia merenung sejenak. Hal itu malah membuatnya mengingat Atha kembali, pria yang selalu cerewet terhadap hidupnya. Karena Dea sadar, semenjak Atha muncul, gaya hidupnya seperti ada yang berbeda.
Ia mendelik malas setelah sadar memikirkan Atha. Lihat saja nanti, ketika ia pulang, apakah pria itu kembali lagi atau sudah menetap menjadi gembel di jalanan sana.
***
Pintu apartement terbuka lebar setelah ia memasukkan password. Pandangannya mencari ke seluruh penjuru ruangan. Hening. Keadaan masih masa ketika ia pergi tadi pagi. Itu tandanya tak ada Atha yang kembali.
Dea berjalan menuju lemarinya, membuka lipatan salah satu baju yang paling bawah. Diambilnya kotak persegi panjang yang masih tersisa dan membawanya ke balkon kamar. Satu batang rokok telah tertempel di bibir mungilnya, perlahan ia hisap hingga bara di ujungnya memundur perlahan. Sambil menatap langit yang kelabu, kepulan asap keluar dari mulutnya membentuk huruf O, lalu perlahan menghilang tertelan di udara. Begitu seterusnya sembari merasakan hembusan angin malam.
Rasanya tenang saat Atha tak ada di sekitarnya. Ia bisa melakukan hal apapun sepuasnya. Tak seperti minggu-minggu kemarin ketika ia harus berdebat dulu saat hendak melakukan apa yang diinginkan. Bahkan makanan saja, diatur oleh pria tersebut. Ia diberi makanan serba hijau layaknya kambing.
"Aku udah bilang jangan ngerokok, Dea."
Terlonjak. Dea menoleh dengan kaget. Rokok di jarinya terhempas begitu saja ke lantai. Tak perlu waktu lama, seonggok racun tersebut sudah diijak oleh sepatu Atha.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Future Husband [END]
RomanceLangkahnya mundur saat menangkap seseorang sedang tertidur lelap di atas ranjangnya. Seorang pria. "HAAA! BANGUN! SIAPA LO? KENAPA ADA DI KAMAR GUE?!" teriak Dea histeris. Ia melempar bantal dengan keras ke arah pria tersebut. Pria itu bangun sera...