Bintang Adaletha, tak ada yang spesial darinya. Hanya gadis biasa yang tak terlalu mencolok pun terkucilkan.
Ia juga tak punya sesuatu yang membanggakan dalam dirinya yang mungkin bisa membuatnya sedikit termaklumi ketika ia melakukan kesalahan. Seperti sekarang, Bintang begitu merasakan dakwaan-dakwaan mentah atas dirinya itu.Kejadian di parkiran itu cepat menyebar luas. Pelangi seorang yang aktif, semua orang mengenalnya. Dia orang baik dengan segudang prestasi. Apalagi dilihat dari sudut mana pun Bintang yang salah di sini, semua orang jelas akan berpihak pada Pelangi.
Haha... Sebenarnya apa yang diharapkan Bintang ini?
Bintang mengusap air matanya. Ini memang konsekuensinya. Bintang sudah tahu pasti, seharusnya ia tak sedramatis ini, ini masalah yang ia tanam sendiri kan? Harusnya ia puas akan buah yang dituainya.
Ponsel Bintang berkelap-kelip dalam mode senyapnya, nama Samudera tertera di sana. Bintang hanya terdiam hingga panggilan itu mati dengan sendirinya dan sebuah pesan dari orang yang sama muncul di sana.
'Kamu di mana, Bi?'
Bintang menundukkan wajahnya, menenggelamkan wajahnya pada lipatan lutut yang ia peluk erat. Ia kembali menangis tanpa suara. Entah sampai kapan ia di sini, duduk di atas closet dan mendengar segala sumpah serapah orang-orang di luar bilik itu.
oOoBintang tak menjawabnya, Samudera semakin gusar karena tak tahu harus mencari ke mana lagi. Memang belum seisi sekolahan ia cek semua, masih ada kemungkinan Bintang berada di toilet, tempat yang seharusnya Bintang hindari karena di sanalah biasanya makhluk nyinyir seperti Inara bersarang. Dan sialnya Samudera tak bisa memastikannya langsung. Bertanya pada teman-teman perempuannya pun bukan ide yang bagus. Ia tahu Bintangnya itu hanya seorang diri sekarang.
"Bi, kamu tau kan aku khawatir banget sama kamu," guman Samudera tanpa berhenti untuk menghubungi Bintang. Sebut bajingan atau apa, terserah. Samudera memang seperti itu, bahkan sampai saat ini Samudera belum menemui Pelangi untuk minta maaf dan mengakui salahnya.
Tak memerhatikan sekitar, nyaris saja Samudera menabrak seseorang ketika ia hendak berbelok.
Inara melipat tangan di sana, matanya menatap tak suka dengan senyuman mengejek. Dia memang kompor di suasana ini."Duh... Yang nyariin Bintang."
Samudera memilih tak peduli. Daripada buang-buang waktu dengan meladeni cewek seperti Inara, lebih baik ia lanjut mencari Bintang. Bintangnya lebih penting.
"Gue tau di mana Bintang."
Langkah Samudera urung, ia kembali menoleh ke arah Inara. Menilik apa ucapan cewek itu bisa dipercaya.
"Iya gue tau di mana Bintang sekarang," ucap Inara menegaskan bahwa ia tak sekedar omong kosong.
"Di mana?"
Inara terkekeh miris sebentar, sebelum menatap Samudera dengan pandangan berbeda. Wajahnya terlihat serius dan tak menyebalkan seperti sebelumnya.
"Gue bener-bener nggak habis pikir sama lo Sam. Apa yang kurang dari Pelangi? Atau kalo Bintang memang lebih baik dari dia, kenapa lo nggak tinggalin Pelangi dulu? Bikin jarak Sam, biar nggak ada yang tersakiti."
Bukan cuma Inara, orang-orang yang lain juga punya pemikiran yang sama. Kenapa Samudera tak memilih salah satu dari mereka. Kenapa bukan Pelangi saja atau Bintang saja.
Sebelum kejadian tadi pagi, Samudera juga sadar kalau hubungannya dengan Bintang itu sudah menjadi rahasia umum. Semua sama-sama tahu, hanya saja kemarin-kemarin mereka hanya berbisik-bisik, bukan menggonggong jelas seperti sekarang ini."Itu bukan urusan lo, mending sekarang kasih tau di mana Bintang." Samudera tak ingin berputar-putar, karena apa pun yang dibicarakan Inara tak akan mengubah apa yang terjadi sekarang.
"Apa bagusnya sih Bintang? Dia bahkan rela jadi selingkuhan lo, artinya dia bukan cewek baik-baik, mata lo buta?"
Samudera dibuat memanas atas ucapan Inara itu, "Jaga mulut lo!"
Bukannya ciut atas bentakan Samudera, Inara malah makin merasa terkompori. "Haha.... Emang Bintang udah kasih 'apa aja' sama lo?" Inara sadar ucapannya sekerang keterlaluan. Ia juga tahu Bintang tak seburuk itu, ia hanya terbawa suasana akan kekesalannya. Sebagai anak seorang broken home, di mana sang kepala keluarga pergi karena wanita lain, ia tak punya toleransi untuk masalah seperti ini.
"Gue bilang jaga mulut atau gue--"
"APA?" Inara mengangkat dagunya menantang. "Lo bahkan nggak peduliin perasaan Pelangi, segitunya belain Bintang kayak dia besok mati aja!"
PLAK!
Wajah Inara tertoleh. Rasa panas menyebar di pipi kirinya diikuti cairan bening yang tanpa diminta pun meluncur. Ia tak menyangka Samudera akan sampai menamparnya seperti ini.
"Apa masalah lo sama Bintang? Nggak usah ikut campur! Sekali lagi lo sebut nama Bintang dengan mulut lo, lo yang bakal mati besok!"
oOo"Coba kalo lo liat tadi gimana wajahnya, jijik sumpah, sok innocent gitu. Cuma nunduk terus nangis."
Disty menghela napas, meskipun 2 cewek yang tengah membenarkan penampilan di depan cermin itu tak menyebutkan nama dari orang yang mereka obrolkan, Disty tahu siapa yang mereka maksud. Karena hampir di mana-mana cewek-cewek titisan lambe turah membahas itu.
"Gosip mulu kerjaan kalian, kayak hidup udah bener aja," ucap Disty yang membuat 2 cewek itu mendelik tak suka.
"Dih mentang-mentang temennya, salah pun dibelain."
Disty yang memang berwatak cuek itu berjalan ke deretan bilik toilet. "Bacot deh lo pada, kasih tau gue ini yang di dalem siapa nggak nyaut-nyaut."
"Temen lo kali," ujar salah satu mereka yang sudah terlajur kesal. Mereka keluar dari sana dengan langkah sedikit dihentak-hentak.
Meskipun ucapan mereka itu asal, entah kenapa itu membuat Disty kepikiran. Sedari tadi Disty mencari Bintang untuk memberikan buku catatan yang tertinggal di perpustakaan juga untuk menghiburnya. Disty bukan membenarkan apa yang dilakukan Bintang, bagaimana pun mereka teman. Jangan ketika benar dekat, kemudian ketika salah ditinggal. Pertemanan tak sebangsat itu kan?
"Siapa di dalem?" Disty mengetuk-ngetuk pintu itu. Tak sabar dan menuntut, ia terus mengetuknya karena tak kunjung ada jawaban.
"Hey jawab dong." Pintu ini jelas dikunci dari dalam bukan karena rusak atau sebagainya.
"Eh lo, panggil Pak Budi dong, pintu ini kekunci takutnya ada orang di dalem," pinta Disty pada cewek yang baru saja masuk ke sana.
Entah cuma perasaan saja atau bukan, Disty khawatir kalau Bintang yang ada di dalam sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Samudera [Tamat]
Teen FictionCinta itu hal terabstrak dari hasil cipta manusia. Kapan ia menghampiri, kepada siapa ia mencari, semua bukanlah hal pasti untuk bisa dimengerti. Tapi tak perlu sibuk dengan definisi, ketika kamu paham bagaimana seseorang begitu berarti. "Sadar ngga...