5. Kaka Sold Out

4.5K 305 7
                                    

Untuk sejenak, Kaka menatap lurus langit-langit kamarnya. Kamar berukuran besar yang didominasi warna putih ini hampir sehening dan setenang kamar rumah sakit.

Masih dalam keadaan berbaring, Kaka memejamkan mata. Menikmati momen tenang ini dengan tubuh atas tanpa busana. Sepersekian detik, matanya kembali terbuka. Ingatannya kembali pada dua hari yang lalu, saat tiba-tiba gadis yang tak dia kenal menyatakan cinta padanya, dan dengan cepatnya dia menerimanya.

Aurara. Kaka mencoba mengingat nama asing itu. Entah apa yang akan terjadi padanya dan Aurara. Yang jelas Kaka tidak ingin memikirkannya untuk sekarang.

Tok tok tok

Kaka menoleh, mendapati perempuan yang masih saja terlihat cantik meski usianya sudah menginjak 42 tahun berdiri di ambang pintu. Selita, wanita berambut panjang itu langsung masuk ke kamar Kaka setelah mengetuk pintu. Kaka beringsut duduk, menatap sang Bunda dengan senyuman lebar.

"Kenapa, Bunda?"

Selita tersenyum, dia mengelus kepala Kaka penuh sayang. "Ayo turun, makan malam."

"Berangkat!" Kaka mengalungkan lengannya pada pundak Selita. Selita terkekeh pelan, Kaka kecilnya sekarang sudah tumbuh dewasa. Bahkan, tingginya jauh di atasnya. Selita sangat bersyukur, kebahagiaannya sudah lengkap. Dia mempunyai sang suami yang baik dan sabar dalam menghadapi berbagai permintaannya. Ada Suri, anak perempuan yang akan selalu menemaninya. Dan ada Kaka, pelindung keduanya.

Saat sudah menuruni tangga, di meja makan sudah ada sang Ayah dan kakaknya. Kaka memilih duduk tepat di samping Suri.

Suri mendengkus. "Pake segala peluk-peluk Bunda. Dasar jomlo karatan," cibirnya ketus.

"Oh." Sembari berucap itu, Kaka bergerak memeluk Suri, lalu menepuk-nepuk kepala Suri cukup keras.

Suri memberontak. Dia memukul lengan Kaka yang berada di pundaknya. Setelah pelukan Kaka terlepas, Suri menatap Kaka sengit. Dia berkacak pinggang. "Lo kalo peluk gue lagi, gue potong kaki lo biar gak tinggi lagi!"

Kaka menaikkan sebelah alisnya. "Bukannya lo ngomong gitu biar gue peluk juga?"

"Dih, ogah banget gue dipeluk jomlo karatan, besi aja kalah," serunya sewot.

"Kak, percuma aja menunggu jika pada akhirnya rindumu tak berujung temu." Kaka mengambil nasi dan juga lauk, lalu mulai memakannya santai. Tak mempedulikan reaksi Suri yang langsung terdiam. Padahal Kaka hanya berbicara asal tadi. Tapi kenapa reaksi Suri begitu?

Suri menggeleng, mencoba mengenyahkan perkataan sang Adik dari kepalanya. Dia kemudian beralih menatap bunda yang tengah terkekeh. "Bunda kenapa? Rambut Suri bercabang? Apa Suri kurang cewek?" tanyanya.

"Dari dulu lo bukan cewek," sahut Kaka cepat.

Suri menoleh sinis, lalu kembali pada sang bunda. "Bunda, kenapa sih?"

Selita tersenyum. "Nggak apa-apa. Bunda seneng lihat kalian berantem."

Suri seketika tersedak ayam goreng yang tengah asik dikunyahnya. Kaka langsung memberikan minum, dan dengan cepat Suri menenggaknya habis. "Jadi, aku harus berantem terus sama dia biar Bunda seneng? Kalo iya, dengan senang hati Suri bakal lakuin. Suri juga belum pernah, kan tonjok Kaka," ucap Suri bersemangat.

"Permaisuri."

Suara Ayah terdengar untuk pertama kalinya dalam obrolan makan malam ini. Garis wajah yang terlihat sangat tenang dan tubuh tegap yang terkesan kurus itu sangat mirip dengan Kaka.

Rajasa menatap Suri lurus. "Ayah nggak suka anak Ayah yang nakal," ucapnya tegas.

Suri nyengir kuda. Dia menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya. "Maaf, Suri khilaf. Suri sayaaaang banget kok sama adik Suri satu-satunya ini. Suri nggak bakalan tega kok, Yah nonjok dia. Paling-paling juga nendang dikit hehehe."

Kaka&Rara [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang