Aku menarik nafas sedalam-dalamnya untuk yang ke sekian kali. Lalu berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran negatif itu dengan fokus kepada pemandangan laut, rumput hijau dan bunga-bunga yang bermekaran indah di sekitar bukit.

"Mbak? Sendirian?"

"Ya." Aku berusaha untuk tersenyum, karena lelaki itu menyapa dengan nada yang ramah. Mataku sedikit membelalak tentu saja, aku membutuhkan waktu sepuluh menit untuk naik ke tempat ini. Dan orang itu hanya tiga menit. Apa dia terbang?

"Saya mengawasi anda dari tadi." Dia kembali berucap dengan tersenyum ramah.

"Anda Babinsa atau penjaga pantai?" Suaraku terdengar dengan nada rendah. Aku sudah beberapa kali ke tempat ini. Tapi belum pernah sekalipun bertemu dengan penjaga pantai. Biasanya penduduk sekitarlah yang berkeliling di sekitar sini. Lelaki ini juga sedang memakai celana army.

"Saya penjaga pantai mbak, makanya saya mengawasi mbak karena anda sendirian dan terlihat..." Dia tidak berani meneruskan kata-katanya. Mungkin takut menyinggungku.

"Oh, saya tidak sedang dalam misi bunuh diri, pak." Kataku yakin. Aku memanggilnya bapak agar tetap sopan saja. Terlihat dari perawakan dan wajahnya, dia mungkin berusia tiga puluhan lebih.

"Maafkan saya mbak." Sahutnya tergelak. Dan kami tertawa bersama.


-


Mengingat pertemuan itu, membuatku tersenyum dan tidak sabar untuk kembali ke sana. Setelah mencuci muka, memakai jaket dan sedikit merias wajah, aku bergegas menyusuri jalanan kota yang masih sepi. Udara sangat dingin dan lampu jalan masih menyala terang. Kami menyusuri pagi itu dengan riang gembira meskipun hari masih gelap.

Segera setelah sampai di sebuah warung sekaligus tempat untuk menitipkan sepeda, kami memarkirkan sepeda dengan rapi dan bergegas setelah berpamitan kepada ibu penjaga warung. Kami melangkah dengan cepat agar bisa bertemu dengan sunrise.

"Woah, aku merasa sudah tua." Keluhku.

"Apa lututmu sudah tidak kuat untuk naik lebih tinggi lagi?" Ejek Agha. Dia paham bahwa pendakian bukit bukan sebuah tolak ukur tepat untuk mengetahui kekuatan tubuhku.

"Sebentar, dari sini pemandangannya bagus." Kukeluarkan kamera ponsel dari saku jaket.

Banyak yang memuji hasil jepretanku sebenarnya. Mereka bilang aku bisa menangkap momen yang cantik dan bermakna di luar perkiraan mereka. Misalnya saja ketika aku mengambil foto di acara pernikahan sepupuku. Si pengantin perempuan sangat puas dengan hasil jepretan yang aku lakukan untuk beberapa foto pernikahannya, meskipun hanya menggunakan kamera ponsel. Aku berhasil mengabadikan gaun merah mudanya yang sedang menjuntai di lantai seperti kelopak bunga mawar dengan twilight theme yang aku atur agar menjadi latar fotonya. Sepupu, paman, bibi dan keluargaku tersenyum lebar sekali melihat hasil jepretanku. Mereka bilang seharusnya tidak usah menyewa fotografer profesional saja kalau begitu jika semuanya bisa ditangani olehku.

"Tetapi foto ini tidak bisa dicetak dalam ukuran besar, karena resolusi kamera ponselku tidak terlalu bagus." Lalu semuanya tertawa.

-

"Kanya!" Seru Agha yang sudah tidak sabar.

"Sebentar lagi."

"Kita sudah dapat sunrise, kamu sudah dapat beberapa video untuk diedit, dan aku juga sudah memotretmu. Tunggu apa lagi?" Pekiknya sedikit marah karena ini sudah ajakan ke tiga yang aku abaikan untuk segera pulang.

"Rumputnya mulai kering, bunga-bunganya juga mulai banyak yang layu."

"Lantas?"

"Tahun lalu aku ke sini sendirian. Rumputnya lebat dan hijau. Bunganya banyak dan warna-warni." Sahutku sambil tersenyum ke arah laut dan mengenang betapa indahnya aku disambut di pertengahan musim hujan waktu itu.

"Apa bunga-bunga itu juga menghiasi jalan setapak seperti ini?" Tanya Agha yang sudah mulai tenang dan duduk di sebelahku.

"Ya, tentu saja. Dan lebih cantik dari hari ini karena kita ada di awal musim panas."

"Katakan. Kau sebenarnya sedang menunggu apa atau siapa?"

"Seorang teman." Jawabku lirih.

Agha lalu berdiri dan menggandeng tanganku. Dia menyuruhku untuk turun lebih dulu. Sesekali kami mengambil beberapa foto. Jam di ponselku sudah menunjukkan angka 8, tapi pantai masih sepi pengunjung. Tidak terlihat satu aktifitaspun, kecuali ibu penjaga loket tiket yang sedang bersih-bersih tempat duduk di sekitar loket.

"Sudah selesai mbak? Sudah dapat sunrise?" Sapanya ramah, lalu meletakkan sapu lidi yang dia pegang. Sepertinya dia tahu, jika aku ingin bertanya sesuatu.

"Sudah bu." Jawabku sambil tersenyum. Karena hari ini aku sedang bersama Agha, aku pikir tidak akan apa-apa bertanya tentang bapak itu. Kemudian aku mengambil tempat duduk di samping ibu penjaga loket, "Bapak penjaga pantai ke mana ya bu? Biasanya kalau saya ke sini, pagi bapak itu sudah stay."

"Pak Danar toh, mbak. Dia sudah tidak bekerja di sini lagi." Ibu penjaga loket tampak sedikit sendu.

"Maaf, sejak kapan bu?" Tanyaku sedikit kaget.

"Dua bulan lalu, mbak."

-

Aku merasa kosong tentu saja. Seharusnya aku berkunjung lebih cepat dan menemuinya. Kami bisa bercakap-cakap ataupun saling memberi kabar. Dia adalah seorang teman yang baik hati. Karena dia adalah seorang petualang, maka tidak sulit baginya memahami seseorang yang menyebalkan seperti aku.

"Kenapa tidak minta nomor ponselnya saja tadi?" Celetuk Agha.

"Tidak. Mungkin nanti Tuhan menakdirkan kami bertemu kembali." Agha tersenyum kecut dengan alasanku yang menurutnya tidak masuk akal karena tidak memanfaatkan kecanggihan teknologi.

Kami bertemu di tempat yang indah. Kami berteman di alam yang cantik. Kami berbicara dengan hembusan angin laut yang lembut. Dan kami berpisah di jalan setapak yang dipenuhi bunga dengan berbagai macam warna. Suatu saat ketika kami bertemu kembali, aku berharap kami bertemu dan bercengkrama di tempat yang sama dengan pengaruh positif yang sama. 

Flower RoadWhere stories live. Discover now