Pertengkaran

1.1K 89 11
                                    

.

.

.

"Anak-anak yang datang hari minggu itu semuanya cantik-cantik ya," kata ibu mertua dengan puas.

Saat ini kami sedang makan malam. Kejadian hari minggu baru saja berlalu beberapa hari. Apakah ibu masih menyarankan anaknya selingkuh ? Aku menggerak-gerakkan sumpit dengan kesal.

"Bu, tolong jangan seenaknya melakukan itu lagi," ujar Shikamaru dengan dingin.

"Kenapa, Shika?" Tanya ibu kaget.

"Kelakuan ibu menyusahkan saja."

"Ibu kan cuma mengundang murid-muridmu datang. Apa masalahnya ?"

"Tetap saja akan jadi masalah. Hanya mengundang anak-anak perempuan kerumahku saja itu sudah menjadi masalah. Aku kan seorang pendidik."

"Tapi yang mengundang mereka ibu, bukan kamu. Ibu bisa saja bilang ini enggak ada hubungannya sama kami, kan?"

"Bukan cuma itu saja, kedatangan mereka cukup menyusahkan Hinata."

"Bukannya Hinata merasa senang?"

"Eh, ya," jawabku dengan ragu.

Yang merasa senang itu siapa? Aku justru merana. Apalagi saat mereka terkejut dan berkomentar,

"Apa?! Orang itu istrinya Pak Nara?!"

Aku merasa terluka dengan ucapan mereka. Apalagi ibu mertua sempat bertanya kepada Ino apakah dia mau kencan sama  Shikamaru segala. Tapi aku cuma bisa diam.

Shikamaru berkata kepada ibunya,
"Pokoknya mulai sekarang ibu harus selalu bilang dulu kepadaku sebelum melakukan apa-apa. Pemilik rumah ini adalah aku, bukan ibu!"

"Pemilik rumah, ya ? Shikamaru sekarang sudah dewasa. Ibu senang." Sepertinya ibu tidak menyangka reaksi yang ditunjukkan Shikamaru.

"Keterlaluan! Ibu bikin susah saja!"

"Shika, ibu cuma mau tahu seperti apa murid-muridmu. Ibu kan nggak punya waktu. Makanya ibu menyuruh mereka datang. Ibu nggak ada maksud apa-apa."

"Ya,ya. Sekarang ibu puas?" Tanya Shikamaru kesal.

"Aku sudah selesai makan," ujarku sambil meletakkan sumpit.

"Aku mau membuat teh," kataku lagi sambil bangkit dari kursi.

Aku meninggalkan mereka di meja makan. Waktu sedang menyiapkan teh, aku mendengar suara ibu mertua yang berbicara dengan lirih.

"Shika, ada yang cantik di antara murid-muridnu."

Shikamaru diam saja. Aku hanya mendengar suara sumpitnya beradu dengan mangkuk.

"Namanya Ino Yamanaka. Dia sangat anggun seperti wanita jepang asli. Ibu sudah mengobrol sama dia. Dia belajar cha no yu dan tari Jepang. Ibu sangat menyukainya."

"Lalu?"

"Shika, kamu dengar nggak sih,?"

"Aku dengar,"

"Gimana ? Apakah kamu suka cewek seperti Ino?"

"Apa-apaan, sih? Dari tadi ibu ngomongin Ino terus. Sebenarnya apa maksud ibu?"

"Ibu merasa dia jauh lebih cocok denganmu. Ibu jadi ingat zaman dulu waktu seorang suami bisa mempunyai istri lebih dari satu. Kupikir enggak ada salahnya kalau kamu menikah lagi."

Aku terkejut. Tiba-tiba aku merasa jantungku berhenti berdegup. Menikah lagi?! Berarti ibu mertua bukan hanya menyarankan anaknya supaya selingkuh, tetapi menikah lagi. Dia meyarankan supaya Shikamaru mencampakkanku dan menikahi Ino!

Apakah sampai begitu parahnya dia membenciku? Aku stok dan merasa lantai yang kupijak bergoyang. Aku bertumpu pada wastafel dapur. Shikamaru berdiri dari kursinya dengan kasar. Aku berpaling ke arah mereka.

"Jangan ngomong yang enggak sopan seperti itu, bu!"

"Shika?" Mata ibu mertuaku terbelalak mendengar ucapan Shikamaru yang tajam.

"Seumur hidupku, istriku cuma satu, yaitu Hinata! Berhentilah ikut campur dalam hidupku!"

"Shika, kamu...."

"Selama ini ibu memperlakukan Hinata dengan tidak baik, kan? Ibu mengerti ucapanku? Berhentilah menyuruhku meneraikan Hinata. Dan berhentilah ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Aku gak akan memaafkan ibu kalau masih menjelek-jelekkan Hinata!"

"Shika, kenapa kamu bicara begitu? Kamu lebih mementingkan Hinata daripada ibu?" Sepertinya ibu mertuaku stok dengan ucapan Shikamaru. Tiba-tiba suaranya berubah tajam.

"Shika, kamu sudah berubah! Dulu kamu selalu nurut."

"Ya, aku memang berubah. Sampai kapan pun aku selalu mendengarkan orang tua, tapi aku bukan anak-anak lagi," jawab Shikamaru.

Ibu mertuaku terdiam. Lalu kudengar ibu bangkit dari kursinya dengan kasar dan bergegas ke lantai dua.

"Shika!" Panggilku.
"Kamu enggak boleh begitu, bertengkar sama ibu."

"Hinata, ibu sudah keterlaluan."

"Kayaknya ibu kaget sama sikapmu tadi. Sudahlah, aku nggak apa-apa kok. Ayo susul ibu."

Shikamaru tampak kaget mendengar ucapanku. Dia hanya diam sambil menatapku. Tapi tiba-tiba hatiku terasa sakit. Aku merasa sesak napas. Mataku mulai memanas. Pandanganku mulai mengabur. Aku sendiri merasa kaget karena baru tahu ibu mertuaku begitu membenciku dan menyarankan Shikamaru untuk menceraikanku. Tapi aku ingat ucapan Shikamaru tadi

"Seumur hidupku, istriku cuma satu, yaitu Hinata!"

Ucapan Shikamaru terus terngiang di telingaku. Shikamaru bilang begitu untuk melindungiku. Aku merasa senang, tetapi tidak mau ucapan Shikamaru itu membuat ibu marah.

"Shika...aku..."

"Hinata...."
Aku nggak bisa bilang apa-apa lagi. Aku menangis. Air mataku mengalir deras di pipi.

"Hinata!" Shikamaru berlari mendekatiku lalu memelukku erat-erat.

"Hinata, maafkan aku. Maafkan ucapan ibu tadi," kata Shikamaru sedih.

Mendengar suaranya yang sedih, aku malah semakin sedih. Air mataku tidak berhenti mengalir.

"Hinata, maafkan aku. Aku benar-benar tidak berguna."

"Tidak, Shika...., aku senang Shika melindungiku. Tapi jangan sampai kamu bertengkar sama ibu. Ibu pasti terluka mendengar ucapanmu tadi." Shikamaru mempererat pelukannya.

"Hinata, kamu satu-satunya istriku di dunia ini."

Aku merasa tenang dengan ucapan Shikamaru. Tetapi air mataku tidak mau berhenti. Aku menangis terisak-isak di dalan pelukannya. Shikamaru terus memelukku sampai aku berhenti menangis.

.

.

.














Maaf kalo ada typo karna no edit. Maaf ya pendek dan jelek. Tidak memuaskan hasrat membaca kalian.

Salam sayang

Mochi Love 💕

An Affair!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang