.
.
.
Malam harinya Shikamaru pulang.
"Aku pulang!" seru Shikamaru dengan semangat. Aku langsung berlari menyambutnya.
"Apa ? Ibuku datang ?"
"Ya. Beliau sedang berendam air panas."
Aku segera menceritakan kedatangan ibu mertua. Pokoknya semua kuceritakan, juga tentang kenapa sampai pergi dari Fukuoka.
"Apa ? Ayahku selingkuh? Enggak mungkin," kata Shikamaru sambil tertawa terbahak-bahak.
"Shikaa...., jangan ketawa seperti itu, dong!" Seruku gusar.
"Ibu kabur dari Fukuoka dan membawa banyak barang. Berarti masalahnya sangat serius," ujarku lagi.
"Aku enggak percaya orang tuaku bertengkar seperti itu."
"Shikaa....." protesku.
"Itu bisa terjadi pada siapa saja, entah pada rumah tangga kita sendiri, atau rumah tangga orang tuaku," kataku dengan suara memelas.
"Hinata, enggak usah cemas."
"Habisnya kamu begitu !" Kata Hinata dengan cemberut.
"Sudahlah. Tenang saja, semuanya pasti baik-baik saja." Shikamaru mencoba meyakinkan Hinata.
"Sungguh?"
"Ya. Ibuku memang keras. Seberapa hebatnya dia bertengkar sama Ayah, akan merasa tenang dalam waktu beberapa hari. Ibu akan menyesal karena pergi dari Fukuoka."
"Ya, semoga begitu."
"Kamu masih cemas?" Tanya Shikamaru seraya mencubit pipi Hinata gemas.
"Uhm..." Hinata mengangguk pelan.
"Maaf, Ibuku tiba-tiba datang. Dia pasti akan merepotkanmu."
"Ya."
"Nanti kutelepon ayahku supaya menjemput ibu."
"Jangan Shika,"
"Yakin ?" Aku hanya diam ragu untuk menjawab pertanyaan Shikamaru. Walaupun sebenarnya hatiku tidak ingin ibu tinggal disini, tapi walau bagaimana pun beliau adalah ibuku juga sekarang.
"Mereka kadang-kadang bertengkar. Tidak hanya kali ini saja. Tapi biasanya mereka cepat baikan lagi. Yah, seperti kita berdua."
"Ya, pasangan suami istri memang ada kalanya bertengkar." Ucap Hinata membenarkan.
"Maafkan ibu kalau bikin kamu repot dan bingung," ucap Shikamaru.
"Enggak apa-aoa, beliau juga ibuku, aku ngga ngerasa direpotkan."
"Kamu tau kan ibu orang nya agak keras ? Jadi bersabar ya sayang." Shikamaru memelukku dan mengecup puncak kepalaku sayang. Membuatku merasa tenang dan aman. Aku hanya mengangguk mendengar perkataan Shikamaru. Sementara itu terdengar gerutuan dari kamar mandi.
"Ibu memang selalu begitu kalau sedang bertengkar dengan ayah."
Aku mengangguk lagi. Rasanya tidak percaya, masa mertuaku mau bercerai.
Keesokan harinya saat aku sedang menyiapkan makan siang, ibu mertuaku berkata,
"Hinata, kamu ini benar-benar enggak sabaran!""Ya?"
Aku menghentikan gerakan tanganku yang sibuk mwngipaa kentang.
"Mengupas kentang bukan begitu caranya. Kulitnya masih terlalu tebal."
"Ah, ya."
"Lihat, kutunjukan cara mengupas kentang." Kata itu mertua sambil mengambil pisau dan kentang dari tanganku.
"Begini cara mengupas kentang yang baik."
Ibu mengupas kentang dengan cekatan. Aku jadi malu sendiri. Tadinya aku syukur karena sikapnya dari kemarin malam sampai tadi pagi masih baik-baik saja. Tetapi, setelah Shikamaru berangkat kerja, sikapnya mulai berubah. Padahal tadi malam waktu ada Shikamaru, ibu mertua bersikap baik padaku.
"Apa menu makan siang hari ini?" Tanyanya sambil terus mengupas kentang.
"Apakah ada masakan yang ibu sukai?"
"Ibu ingin sekali mencicipi masakan spesialmu."
"Masakan spesialis?"
"Ya. Pasti kamu punya masakan andalan,kan? Ibu ingin makan masakanmu."
Mendengar permintaannya, jantungku mulai berdebar tak keruan. Masakan andalan ?sebaiknya masak apa, ya ?
Tak lama kemudian, aku memasang taplak putih yang paling bagus yang kumiliki di meja dan mengulasnya dengan bunga segar. Aku mengangguk, urusan meja sudah selesai.
Saat ibu mertua mencicipi pie kentang buatanku, beliau langsung memberi komentar,
"Ah, kurang asin. Kulitnya masih setengah matang. Kamu salah menyetel timer saat menanggungnya."
"Maaf..."
"Masa Shikamaru makan masakan seperti ini setiap hari ?"
"Eh, enggak. Bukan begitu..."
Hatiku menciut mendengar ucapan mertuaku. Biasanya aku selalu bisa membuat pie kentang yang lezat. Dia bilang enak sekali. Tetapi, kenapa hari ini aku gagal membuat pie kentang seperti niasanya, ya ? Apakah karena ibu mertuaku terus mengawasiku dari tadi ? Makanya, aku menjadi tegng dan pie kentang buatanku gagal.
Aduh, percuma saja. Padahal ini adalah kesempatan yang baik untuk menunjukkan aku adalah istri yang baik. Selain itu, aku ingin hungungan kami menjadi istri yang ideal, tetapi gagal.
"Hinata, kamu pernah belajar memasak ?"
"Belum pernah."
"O, begitu, benar juga. Kamu menikah waktu kelas dua SMA, mana sempat belajar memasak dan mengurus rumah tangga."
"Eh, ya..."
"Kamu terlalu cepat menikah..." Aku tidak menjawab.
"Tapi sekarang kamu kan sudah lulus SMA. Mulai sekarang ibu ingin kamu lebih berusaha dalam mengurus rumah dan Shikamaru. Paling tidak, kamu harus belajar masak."
"Iya."
"Sekarang kamu seorang ibu rumah tangga, kan? Kamu punya banyak waktu untuk kursus masak."
"Iya. Aku akan berusaha sebaik mungkin."
"Kamu enggak perlu jawab," kata ibu mertuaku dengan kesal. Aku jadi serba salah. Jadi, bagaimana aku harus bersikap ?.
"Astaga! Hinata, bukan begitu caranya menyetrika!"
"Iya."
"Ya, ampun! Ventilasinya kotor sekali! Pasti enggak pernah dibersihkan, ya ?"
"Ya, dibersihkan sekarang."
"Hinata, ibu mau ikut belanja buat makan malam. Nanti kuajari cara memilih sayuran dan ikan segar."
"Ya. Terima kasih."
Aku menghela napas. Rasanya seperti ikut kursus cara-cara mengurus rumah tangga saja. Seharian penuh aku menghadapi situasi seperti itu. Rasanya aku capek, dan ingin Shikamaru cepat pulang. Ibu mertua selalu mengkritikku. Setiap dia memanggil, jantungku pasti langsung berdetak kencang.
.
.
.
Maaf kalo ada typo karna no edit. Maaf ya pendek dan jelek. Tidak memuaskan hasrat membaca kalian.
Salam sayang
Mochi Love 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
An Affair!
RomanceComplete. "Selamat pagi suamiku! Tadi malam mimpi apa?" "Ya, akibatnya buruk sekali. Mungkin kami akan bercerai. Kalau itu terjadi,..." "Dimana istri sensei ?" "Kami ingin melihatnya." "Seperti apa orangnya?" "Dia baru lulus dari SMA kami, kan?" (P...