"Gak Ana. Mama gak izinin kamu buat masuk sekolah dulu. Mama sudah tau semuanya tentang masalah kamu sayang. Mama akan urus kepindahanmu dari sekolah itu, kamu juga akan ditemani Nando nantinya." Riana melirik ke Nando yang juga sedang menatapnya dari sofa ujung kamar itu.
"Mah, tapi Ana udah suka sekolah disana. Buat apa pindah, terus Rio gimana? Teman-teman Ana juga gimana?"
"Mereka aja gak peduli sama kamu, sayang. Buat apa kamu mikirrin mereka." Sela ibunya menenangkan Riana.
"Apa yang mamamu katakan itu benar Ana. Lebih baik kamu pindah ke sekolah lain, biar nanti Nando yang menjaga kamu." Riana menoleh ke arah ayahnya yang kini sudah berdiri dan menghampirinya.
"Ana gak mau." Gadis itu akhirnya menangis, memikirkan keputusan sepihak dari orang tuanya.
Nando masih terdiam disana, melihat kesedihan Riana yang akan di pindahkan sekolah dan di jauhkan dari Rio. Padahal beberapa jam sebelum kedua orang tuanya datang, Riana bercerita dengan raut wajah gembiranya karna ketiga teman sekolahnya datang menjenguk.
"Ana, dengarkan papa ya. Semuanya keputusan ini sudah di pertimbangkan, kami melakukan ini juga untuk kepentingan dan kenyamanan kamu dalam belajar."
"Pah, tapi gimana Rio?" Tanya Riana dengan mata berkaca-kaca.
"Pisah sekolah bukan hal yang buruk kan buat hubungan kalian? Lagian dengan ini juga kamu jadi lebih fokus belajar." Sela ayahnya menjawab pertanyaan Riana.
Riana terdiam, ingin sekali rasanya berontak, tapi rasanya percuma saja. Ketegassan ayahnya begitu keras untuk kepentingan dan keselamatan Riana.
"Kita mulai dari awal ya sayang. Jangan khawatir." Ibunya mengusap puncak kepala Riana, menenangkan perasaan gadis itu untuk tidak menolak.
"Tapi.." Sela gadis itu, membuat semua yang ada disana kembali mengarahkan perhatian ke Riana.
"Aku mau besok, bisa tetap tampil pensi mewakilkan kelasku."
"Ana—"
"Setelah itu terserah sama mama dan papa. Ana cuma mau membuktikan sama semuanya bahwa aku tidak serendah yang mereka ucapkan, mah. Pensi itu sudah tanggung jawab Ana."
"Sayang, tapi keadaan kamu aja belum stabil. Mama gak mau kamu—"
"Oke, papa izinkan kamu maju pensi. Setelah kamu tampil kamu akan langsung kembali ke rumah sakit dan pindah dari sana." Saat Andre mengatakan hal itu mereka terdiam hening.
"Iya pah." Jawab Riana lirih.
"Kalau begitu kamu sekarang istirahat. Supaya besok badan kamu lebih kuat." Ucap ayahnya lalu menarik selimut Riana hingga menutupi badannya hingga dada.
"Kamu istirahat ya sayang." Riana mengangguk, bagaimana ia bisa tidur jika perasaannya masih gelisah, terlebih belum ada kabar sama sekali tentang Rio semenjak ia siuman.
"Mah, Rio mana?" Ibunya yang masih duduk di samping ranjang Riana menoleh.
"Udah sayang, kamu lebih baik istirahat dulu. Besok mungkin dia datang." Riana pasrah. Tak ada untungnya memaksa untuk melihat kekasihnya, pasti orang tuanya menjadikan pensi sebagai alasan untuk dia istirahat dari pada memikirkan Rio.
***
"Makasih buat makan malamnya om, tante. Nando pamit pulang dulu, udah malem juga." Andre mengusap puncak kepala Nando."Kamu hati-hati pulangnya ya. Kalau ada apa-apa segera hubungi kami atau Ana. Jangan sungkan." Nando menunduk berterimakasih. Keluarga Riana memang sejak dulu sudah menganggapnya sebagai bagian dari mereka, begitupun dengan ibunya yang juga tak kalah begitu memperhatikan Riana dan menyayangi gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent ✔
Teen Fiction[COMPLETE✔] [CERITA PANJANG⚠] "Untuk bisa bertahan aku harus diam, jika tidak ingin terluka mulutku harus tetap bungkam. Membuat semua menjadi kebohongan, untuk bisa mempertahankan sebuah hubungan. Tapi jika terbuka adalah sebuah pilihan, aku tidak...