Bagi beberapa orang bahagia merupakan fatamorgana, namun kenapa luka menjadi begitu nyata?
***
Seperti yang telah di rencanakan sebelumnya, malam inagurasi akan di selenggarakan di Puncak hari Sabtu tepat setelah UTS selesai. Saat ini empat mini bus rombongan Mahasiswa Baru Ilmu Komunikasi masih tertahan oleh sistem one way yang di berlakukan.
Jika anak-anak yang lain memilih untuk menghirup udara di luar bis, maka Kiana adalah kebalikannya. Gadis itu masih nyaman terlelap dengan mulut yang setengah terbuka.
Beberapa menit kemudian, Kiana menggeliat. Gadis itu sontak menyipit saat melihat Naura yang sudah tidak ada di sampingnya.
Sebuah hormon dalam tubuhnya membuat Kiana memaksakan diri untuk bangkit. Dengan langkah sempoyongan, Kiana melangkah keluar dari bus.
Kiana butuh ke kamar kecil.
Juna baru membeli segelas es doger, ketika matanya menangkap tubuh oleng yang turun dari bus. Gadis itu menengok ke kanan dan kiri sebelum melanjutkan langkahnya.
"Jun, pinjem HP dong!" suara Rio mengalihkan perhatian Juna. Sejenak, ia mengangsurkan ponselnya. Namun, saat Juna kembali menoleh, gadis itu sudah tidak berada di tempatnya tadi.
"Itu anak, ntar kalo ilang aja," Juna menghembuskan gusar, lantas melangkahkan kakinya, berusaha menemukan jejak Kiana.
Melalui sebuah celah kecil yang terdapat pada dinding yang memisahkan jalan tol dan pemukiman warga, dan di sanalah Juna menemukan Kiana, masuk ke dalam rumah dengan plang bertuliskan 'WC umum' di depannya.
Juna bersandar pada dinding rumah itu, sesekali senyum dilemparkannya pada warga sekitar yang lewat.
Beberapa menit berlalu, namun, Kiana belum juga keluar dari rumah tersebut. Juna baru ingin mengetuk pintu kamar mandi ketika Kiana keluar dari sana, dan langsung berjenggit kaget.
"Astagfirullah, gue kirain dedemit puncak." Kiana mengelus-elus dadanya.
"Lo ngapain sih di dalem? Tidur? Ayo buruan!" Juna menarik tangan Kiana, tapi hanya sesaat karena Kiana langsung menghempaskannya.
"Gue masih bisa jalan sendiri tau! Nggak usah modus, tangan gue mahal."
Juna mendengus mendengar Kiana, lantas melangkah cepat, membuat gadis itu kewalahan mengikuti langkahnya yang besar-besar.
Juna akhirnya menghentikan langkahnya, lalu menyuruh Kiana melangkah di depannya. "Lo jalan duluan, biar gue yang di belakang."
Senyum Kiana mengembang, tidak menyangka bahwa Juna memiliki sisi seorang gentleman. Namun sayang, senyumnya langsung lenyap kala mendapati mobil yang tadi berbaris rapat sudah mulai berjalan lancar, dan bus mereka sudah tidak tampak.
"MATI GUE!" keduanya berteriak, nyaris bersamaan. Raut Kiana langsung berubah panik, ia menatap Juna seraya menggigiti ujung kukunya.
"Gimana dong?"
Juna tidak menyahut, hanya meraba-raba kantongnya, tapi sedetik kemudian mengumpat saat mengingat ponselnya di pinjam oleh Rio.
Sial!
Cowok itu mengulurkan tangannya, yang langsung di sambut Kiana dengan sukarela. Juna menatap tangan mereka datar, sebelum menghempaskannya.
"Maksud gue HP, tadi mau di gandeng marah-marah, sekarang malah minta di gandeng," selorohan Juna hanya di sambut dengan bibir Kiana yang menekuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
If Only
Teen Fiction#09 in Teenfiction (24 Januari 2018) Pemenang The Wattys 2017 kategori Riveting Reads Kita telah belajar banyak mengenai kehilangan. Menjejaki satu-persatu luka, demi menemui kebahagiaan bagi yang lain. Jatuh, sampai rasanya tidak mampu lagi berdiri...