The Nineteenth Station - "How Do You Know?"

36.4K 5.2K 432
                                    

Aku tidak menyangka Papa dan Mama akan datang menengokku saat melakukan terapi. Aku tidak melakukan terapi yang berat-berhubung karena aku hanya mengalami koma dalam jangka pendek dan karena kakiku tidak dalam kondisi baik-baik saja. Tapi tetap saja membutuhkan terapi ringan untuk membuat otot-otot kaki dan lenganku agar tidak kaku.

Saat itu Mama mendorong kursi rodaku dan Papa hanya bisa menatapku datar. Hubunganku dan Papa belum begitu baik semenjak kemarin lusa. Aku berencana meminta maaf pada Papa hari ini.

Kami sudah sampai di depan ruangan khusus terapi, namun tiba-tiba kami di halangi oleh seorang suster.

"Maaf Bu, Pak. Ruangannya lagi di pakai, kira-kira sejam lagi baru keluar pasiennya."

"Lho? Bukannya jam satu giliran Putri saya?" tanya Papa dengan sedikit risih.

Suster itu melihat kertas-kertas yang di pegang di tangannya. "Maaf Pak, rupanya kami salah memberi waktu. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya," ujarnya penuh penyesalan.

"Yasudah, mungkin kami bisa menunggu," ujar Mama pada akhirnya.

Papa dan Mama duduk di kursi tunggu, sementara aku duduk di depan mereka di kursi roda. Papa nampaknya terganggu karena kesalahan jadwal yang diberikan rumah sakit.

"Katanya rumah sakit terbaik, pelayanannya saja buruk begini," desis Papa menahan geram.

"Sudahlah." Mama membalas sambil menghela nafas.

"Pa, Ma."

Aku menatap mereka berdua dalam, kukira sekarang saatnya aku menceritakan tentang keajaiban yang kulihat itu. Sebenarnya, dari hatiku terdalam, aku sangat takut Mama akan marah. Tapi kuberanikan diriku dengan kuat, lagipula kereta api itu sudah-tidak ada.

Setelah membalas tatapanku, aku pun melanjutkan. "Tyara pengen cerita. Tapi kalau bisa, Papa dan Mama mendengarkan sampai selesai dulu." Mama dan Papa mengangguk bersamaan, membuatku tersenyum tanpa sadar. "Tapi, Mama jangan marah, ya?"

Papa sudah pernah berjanji tidak akan marah jika aku bercerita tentang kereta api itu. Alangkah senangnya hatiku saat Mama mengangguk menyetujui.

"Papa dan Mama pasti ingat saat tahun baru meninggalnya Kakek dan Nenek, kan?"

Aku tahu nampaknya Papa dan Mama tidak menyukai topik ini. Tapi aku akan tetap melanjutkannya. Akan kukatakan sejujurnya tentang kereta api yang sebenarnya nyata namun tak terlihat itu.

Aku kembali melanjutkan saat Papa dan Mama mengangguk bersamaan. "Suara yang kudengar saat ...,"

"Tyara, apa ini bersangkut paut dengan kereta api itu lagi?" Mama memotong, membuatku tanpa sadar menahan nafas.

Mama pasti akan marah lagi.

"Iya, Ma," ucapku, tapi aku langsung memotong sebelum mendengar reaksi Mama. "Tyara akan menceritakan apa yang Tyara lihat, bukan yang kalian pikiran." Mereka berdua sempat terdiam menghela nafas, mungkin mencoba mengendalikan diri mereka agar mau mendengarkan perkataanku.

"Baiklah, lanjutkan."

"Pertama kalinya Tyara mendengar suara kereta api itu, setelah tahun baru dan saat Kakek dan Nenek pergi menuju kota." Aku mengucapkannya dengan lirih, sesekali menghela nafas lirih. "Lalu saat pemakaman hari itu, aku juga mendengarnya, Ma, Pa."

Mereka berdua masih terdiam menatapku, menungguku melanjutkan pembicaraan kembali.

"Lalu sampai akhirnya saat kita hendak pulang ke rumah, aku ..., melihat langsung kereta api itu. Aku berani bersumpah, kereta api itu melaju di atas langit. Aku melihatnya, aku sungguh-sungguh melihatnya.

LFS 1 - Air Train [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang