Bab 7

73.3K 4.4K 54
                                    

"Kata siapa Cinderella itu lemah. Dia itu hanya sedang menunggu. Seperti singa yang menanti buruannya, dia juga sedang menanti ... menanti waktu yang tepat untuk membalas dendam."

.

.

Selesai menyuarakan kemarahan, maka dengan segera Amaya membalik badan ke arah pintu keluar. Ia hanya memandang lurus ke depan, tanpa mau menghiraukan berpuluh-puluh pasang mata yang menatap dirinya penuh keheranan. Seperti seorang pahlawan yang baru saja mengalahkan penjahat, Amaya pun keluar dengan penuh kebangaan dalam diri.

Ia bahkan dengan tetap elegan membuka pintu mobilnya. Masuk dan melajukan tanpa peduli dengan kekacauan besar yang telah dibuatnya.

.

.

-Flashback-

"Kamu hamil!" Itu pernyataan bukan pertanyaan.

"Maafkan aku, May," balas Helen di sela-sela tangisnya.

"Kamu harusnya minta maaf sama orang tua kamu, Len. Bukan aku."

"Aku takut, May. Mereka bakal kecewa sama aku."

"Lalu mana pria kamu sekarang?!" tanya Amaya dengan suara sedikit meninggi. Tanda bahwa dirinya tidak lagi bisa menahan kesal.

"Dia mutusin aku ... dua hari sebelum aku tahu bahwa aku hamil."

Mendengar satu kalimat tersebut, membuat seluruh tenaga Amaya rasanya lenyap seketika. Tanpa ada suara, ia hanya hanya bisa balas melihat Helen dengan pandang nanar. Lantas ikut duduk di lantai dan memeluk erat sahabatnya tersebut.

Di tengah hangat peluknya, wanita itu juga ikut menangis. Tak kalah deras seolah dirinya dapat merasa sakit yang sama seperti Helen. Beruntung, hari itu Hana dan Dava sedang menginap di rumah ayahnya, jadi tidak perlu ada empat orang yang menangis bersamaan.

"Kenapa dia mutusin kamu, Len?"

"Dia bilang ... dia takut nyakitin aku, May."

"Bullshit!"

Tanpa sadar Amaya sudah berkata kasar begitu saja. Ia bahkan langsung melepas pelukan. Ingin mendapat kejelasan lebih dengan melihat langsung iris hitam Helen.

"Awalnya aku juga enggak paham, May. Dia bilang ke aku bahwa dia bingung sama perasaannya. Dia takut kalau yang dia rasain sama aku itu bukan cinta dan malah nyakitin aku."

"Dan kamu terima diputusin dengan alasan itu?!"

"Awalnya aku enggak terima. Tapi, dia bilang butuh break dulu dan yakinin semua perasaannya sama aku." Setelah mengucapkan kalimat itu, Helen kembali melanjutkan tangis. Membuat Amaya kehilangan lagi kata-katanya. Saat itu, dirinya hanya bisa menepuk-nepuk halus punggung Helen. Berharap bahwa hal tersebut dapat sedikit mengurangi kesedihan hatinya.

.

.

Seminggu setelah adegan menangis di rumah Amaya menjadikan pribadi Helen berubah seratus delapan puluh derajat. Wanita itu hanya diam tanpa banyak bicara. Bahkan ia sampai mengambil cuti kantor karena tidak dapat fokus bekerja. Sikapnya yang kelewat ganjil tidak hanya menciptakan khawatir bagi Amaya, tetapi juga Hana dan Dava.

Kedua anak itu yang tidak tahu dan mengerti apa pun hanya bisa bertanya pada Amaya. Merasa tak tega setiap kali berkunjung ke rumah tante tersayangnya tersebut dan hanya bisa menemukan seorang wanita tanpa keinginan hidup yang terus muntah karena morning sick yang bertambah parah.

Oleh sebab itu, pada akhirnya Amaya mengambil keputusan. Datang menemui brengsek yang melukai Helen dan membuat perhitungan dengannya.

Hari itu hari Kamis. Amaya memilih untuk izin dari kantor demi melancarkan aksi balas dendamnya. Ia bahkan sampai memoles diri seanggun mungkin. Ingin menguatkan alibi akan dirinya yang bersiap untuk mengaku sebagai tunangan si brengsek itu.

Namun, saat kemarahan sudah tidak lagi bisa ditahannya, justru ia malah mendapat kecewa karena ternyata pria itu malah sedang asik menikmati makan siang sementara Helen tersakiti tiap detiknya. Amaya pikir takdir terlalu jahat padanya. Meski ia salah. Ternyata saat itu Tuhan juga sedang berpihak untuk mensukseskan tujuan Amaya.

Tiba-tiba saja, pria yang dikatakan tidak ada di ruangnya itu muncul dari balik pintu lift. Lantas membuat Amaya tersenyum dingin. Langsung melangkah pelan dengan pandang melihat depan.

Plakk!

Sebuah tamparan keras dilayangkan Amaya tepat pada pipi kanan Rava. Tidak sama sekali memberi penjelasan, ia langsung menampar lagi pipi kiri pria itu dan mendorong tubuh tingginya dengan seluruh kekuatan. Membuat Rava lantas terjatuh di atas dingin lantai dengan raut bingung jelas terlukis di wajahnya.

Tidak hanya tamparan, Amaya juga tidak lupa untuk menuangkan setoples garam yang sejak awal dibawanya dalam tas tangan. Alasan dirinya menuangkan garam bukan air, karena penyiraman garam itu adalah simbol pengusiran setan dan baginya Rava itu bahkan lebih jahat dari iblis sekali pun.

"Heh, brengsek! Berani-beraninya kamu kabur setelah bikin anak!" teriaknya memecah hening yang ada.

"Anak? Anak yang mana?!"

"Enggak perlu sok bodoh, deh! Setelah merasakan enaknya sekarang dengan gampangnya kamu tinggal semua masalah yang terjadi!" teriak wanita itu makin keras.

"Dasar, wanita gila! Aku bahkan tidak pernah bertemu denganmu, jadi jangan seenaknya menuduh seperti sekarang!"

"Kamu ini pura-pura atau memang bodoh benaran, sih? Kamu mau makin buat drama sama aku? Oke! Sekalian saja kita buat pengakuan agar semua orang tahu. Biar publik mendengar bahwa kamu ini hanya seorang pria pengecut yang hanya bisa lari dari kenyataan!"

Tidak membalas apa pun, Rava hanya diam, makin menyulut api kemarahan yang dimiliki Amaya.

"Kenapa diam saja?! Apa selain bodoh kamu jugabisu, hah?! Sudahlah, intinya aku ingin memberi peringatan. Ingat bahwa kamu tidakperlu muncul lagi di depanku! Ah, dan perlu juga kamu tahu bahwa aku akan sebarsemua perbuatanmu itu sampai viral di sosial media! Dasar, penjahat kelamin!" pekik Amaya pada akhirnya yang masih membuat Rava shock karena tidak percaya.

-Flashback End-

.

.

Ditulis oleh: Penulisdsy

Vote, follow, dan komentar jangan lupa


[End] Behind The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang