Bab Dua

252K 9.8K 152
                                    

Cahaya yang mengintip dari celah tirai jendela mengganggu sepasang mata yang kelopaknya bahkan masih tertutup rapat. Sepasang alis indahnya bertaut saat merasakan silaunya mentari pagi. Rere mengerjap beberapa kali.

"Em...." geramnya tak kuasa menerima sorotan mentari. Setelah beberapa saat beradaptasi dengan keadaan, baru kemudian Rere membuka sepasang kelopak matanya perlahan hingga ia menyadari di mana dirinya berada. Kerja otaknya lumayan cepat juga ternyata.

Rere mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Dia tak mengenal tempat ini "Tsk ... Aah!!" erangnya saat rasa sakit menyerang kepala. Kembali setelah itu sorot matanya mengelilingi ruangan yang tampak dan terasa asing ini.

"Aku di mana?" Rere mencoba mengingat-ingat di mana dia berada. Namun semakin jauh dia mengingat, maka kepalanya akan merasakan sakit yang berkali lipat.

Hawa dingin dari AC yang terus menyala membuai kulit tak berpenghalang itu. Rere kedinginan. Hingga hal itulah yang menyadarkan dia akan ketelanjangan tubuhnya. Melihat dadanya yang terekspos dengan bagian pinggang ke bawah hanya ditutupi oleh selimut. Membuat tenggorokannya mendadak sakit.

Mata indahnya memanas. Bibirnya sudah melengkung menyedihkan. Dia berada di tempat asing. Di sebuah kamar hotel—tebaknya—dalam keadaan tak berbusana. Kulit tubuhnya meremang tak sanggup menerima kelebatan bayangan atas apa yang terjadi padanya semalam.

Dia berkenalan dengan seorang pria. Kemudian merasa panas dan pusing dan setelah itu dia lupa. Lupa melakukan apa lagi walau kenyataan pagi ini cukup memberinya petunjuk atas apa yang terjadi semalam. Apa lelaki yang tadi malam telah memasukkan sesuatu ke dalam minumannya? Tapi mengapa? Salah apa dirinya hingga diperkosa seperti ini?

Tubuhnya bergetar hebat bersamaan dengan air mata yang terus meluncur jatuh. Rere kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya. Satu-satunya harta yang ia punya untuk membahagiakan suaminya kelak, namun sudah direnggut begitu keji dengan seseorang yang tak dikenalnya.

Dia membekap mulutnya saat isakan lirih itu meluncur halus namun begitu memilukan. Dipukul dan dicakar tubuhnya dengan cukup keras seakan ingin menghilangkan jejak kotor di sana. Ditarik rambutnya bersama erangan frustasi. Dia merasa menjadi wanita bodoh. Bodoh tak bisa melindungi harga dirinya sendiri.

*

*

Dua hari Rere menggelung diri di kamar. Pagi itu, setelah dia bisa menenangkan dirinya di hotel. Dia kembali ke club malam yang ia datangi bersama Laras malam itu. Kebetulan pula letaknya berhadapan dengan hotel tempatnya menginap.

Beruntung. Bahkan setelah kehilangan mahkota kewanitaannya, wanita ini masih bisa mengatakan beruntung karena tas dan motornya tak hilang. Tasnya dijaga oleh bartender yang menemukan. Sementara motornya tetap terparkir di area parkir.

Diusap wajah pucat dan sembabnya—karena terlalu banyak menangis—itu setelah dirasanya cukup. Cukup bermuram durja dengan semua sesal yang tiada guna. Dia masih memiliki kehidupan yang harus ia lanjutkan. Dia butuh makan juga butuh uang untuk membeli bensin.

Perlahan tubuh kurus itu bergerak untuk duduk. Pandangannya begitu menyedihkan. Tak ada sorot kehidupan di sana selain kelam. Mungkin bagi orang ini adalah hal yang terlalu berlebihan untuk ditangisi

Ya ... di era yang serba modern ini, memang keperawanan bukan hal yang diagung-agungkan lagi oleh sebagian perempuan. Tapi tidak dengan dirinya yang masih menganggap keperawanan adalah tolok ukur kehormatan sebagai wanita yang belum menikah. Bukan hanya keperawanan. Lebih tepatnya, tubuhnya adalah kehormatan yang tak boleh disentuh oleh lelaki yang bukan suaminya.

Tapi apa yang harus dirinya lakukan. Dia diperkosa. Bukan maunya diperkosa seperti malam itu. Lelaki brengsek yang selama dua hari ini terus dikutuknya itu telah memerkosanya lalu meninggalkan dirinya begitu saja bak pelacur. Pelacur saja masih diberi uang sebelum pergi. Sementara dia? Jadi maksudnya, dia mau dibayar, begitu?

We Are Your FaultTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang