[Keping 16] : Mariska

25.9K 2.4K 142
                                    

***

Ini untuk kali kedua aku menginjakkan kaki di sini. Tempat yang hampir keseluruhan didominasi ornamen jawa—membuat pengunjungnya serasa dibuat dekat dengan budaya yang memang tak bisa dipisahkan dari kota gudeg. Renza tak langsung membawaku pulang sehabis quality time kami di pantai. Ketika aku bertanya kenapa, ia hanya memberikan jawaban yang membuatku enggan untuk menggulirkan pertanyaan lagi.

Ruangan yang nampak begitu luas, dimanfaatkan dengan adanya saung-saung berukuran besar yang kira-kira sanggup menampung sekitar delapan orang. Jumlahnya ada lebih dari sepuluh saung. Dimana, atapnya terbuat dari alang-alang kering yang warnanya kecoklatan. Aku mengikuti jejak-jejak Renza yang terus saja melangkah semakin masuk ke dalam. Ia tak mempersilahkan aku duduk. Atau sekadar menawariku menu andalan yang ada di cabang baru Sego Liwet. Padahal, membayangkan gurihnya bebek bakar di sini, hampir-hampir membuat air liurku menetes tak terkontrol.

“Semoga bayiku nanti nggak ileran kalau sudah lahir gara-gara ayahnya terlalu bermurah hati dalam memberikan asupan gizi. Sampai-sampai, seporsi bebek bakar saja nggak sanggup dia kasih.” Aku membeo dalam hati.

Tentu saja, ocehanku itu hanya sebatas pembenaran untuk diriku sendiri atas sikap Renza yang mengabaikan hasrat ngidamku yang kali ini benar-benar tak mampu aku bendung lagi sehingga membuatku jengkel bukan kepalang. Mungkin ini suatu kondisi, dimana grafik kelabilan ibu-ibu hamil itu cepat sekali naik dan turun.

Hampir saja aku menabrak punggungnya saat ia berhenti mendadak. Pintu besi besar di hadapan Renza yang separuhnya dilapisi kaca bening, bisa memerlihatkan segala kegiatan orang-orang yang ada di dalam dapur. Aku berdiri di belakangnya. Dan ikut-ikutan mengarahkan pandanganku ke depan, sama seperti yang tengah ia lakukan.

Para pekerja yang mengenakan pakaian seragam, sibuk dengan bagiannya masing-masing. Tetapi, bukan itu yang mencuri perhatianku. Seharusnya tak ada yang perlu aku cemaskan lagi kalau pada kenyataannya hati Renza sudah aku genggam. Tetapi naluri sebagai seorang wanita normal, tetap saja membuat dari separuh jiwaku bersikukuh mempermasalahkannya.

Interaksi mereka hampir membuat hatiku retak kecil-kecil. Keakraban yang seharusnya menjadi milikku, entah mengapa serasa terambil secara cuma-cuma dan membuatku merasa tersisihkan. Ibu dari laki-laki yang bakal menjadi ayah calon bayiku saja bisa sebegitu terbukanya menerima wanita itu, bagaimana tidak dengan Renza? Rasa percaya diri yang aku coba bangun, seakan dihempaskan begitu saja ketika derai tawa keduanya masuk memenuhi rongga telinga. Lalu, kilasan-kilasan perihal foto mereka yang berlatar jembatan ikonik kota Palembang menyucuk relung jiwa terdalamku.

Kutarik nafas panjang, kemudian, mengeluarkannya secara perlahan. Mungkin, sikap antisipasi tersebut yang akhirnya membawa kepala Renza menoleh kepadaku. Ia mencoba menelisik sesuatu dari bola-bola mataku yang terlihat tak seterang sinar rembulan di malam gulita. Tidak saat satu perasaan tak nyaman menyusup ke dalam celah hati dan mengoyak-ngoyak kepercayaanku terhadap rasa cintanya sehingga membuatku memutuskan untuk memutus kontak mata diantara kami.

“Tatap aku, Honey.” Ia meraih daguku. Mengarahkannya lurus dengan tatapannya yang terlihat begitu tenang.

Tapi justru aku menepis tangannya kasar. Perasaan takut itu kembali menguasaiku.

“Aku... nggak bisa,” tukasku sambil kembali menolak membingkai matanya. Aku memilih menatap petak-petak ubin putih di bawah kakiku.

“Please... kamu harus belajar percaya sama aku, ya.” Ia kembali memohon.

Mataku terpejam. Sisa-sisa sensasi sakit dicampakkan begitu saja oleh Ragastra, tak bisa aku pungkiri efek panjangnya. Meskipun semakin hari hubungan kami semakin membaik, trauma kecil itu tetap saja tak semudah abu yang diterbangkan oleh angin. Aku takut. Dan ketakutan terbesarku adalah, ketika aku tak diinginkan lagi begitu aku menyerahkan hati dan jiwaku kepada Renza sebagai satu-satunya pria yang aku yakini mampu membahagiakanku.

Here, AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang