***
Semenjak keluar dari ruangan obgyn, tautan tangannya tak lepas menggenggam jari-jari mungilku. Rasanya, hangat dan menciptakan perasaan nyaman yang selama ini tak pernah aku sadari dari pertama kali aku mengenalnya sampai pada hari ini.
Ia membawa tanganku ke bibirnya, mengecup ringan beberapa kali sambil matanya menatap lurus ke depan. Sensasi menggelitik itu kembali menerpaku, mengantarkan sengatan-sengatan kecil yang membuat perutku serasa diaduk-aduk dan nafasku tercekat untuk beberapa saat.
"Aku baru tahu kalau euforia menjadi calon ayah itu membuat aku seperti nggak mengenali diriku sendiri," ucapnya dibarengi kekehan ringan sewaktu membuka interaksi diantara kami.
Hanya senyumanku yang menjawab pernyataannya.
Lantas, ia kembali berujar. "Nyesal aku pernah mengatai Banyu si Super Lebay waktu tahu bininya mengandung kembar tiga."
Karma!
Dan lagi-lagi, aku hanya tersenyum tipis menanggapi setiap rentetan kalimatnya.
Ia menoleh ketika mendapatiku tak mengatakan apa-apa. Mobil masih berjalan memecah jalanan Jogja yang cukup padat menjelang sore ini. Pandanganku menembus kaca, memerhatikan hiruk-pikuk orang-orang yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Tiba-tiba, perasaan rindu pada sesuatu memenuhi ruang hatiku. Sudah lama, aku tak mengeksplore setiap jengkal kota ini.
Aku menoleh. "Temani aku jalan-jalan, ya, Za," ucapku sedikit memohon kepadanya.
Kerutan di sekitar dahinya terbentuk sesaat setelah permintaanku terlontar. Ia diam sebentar, seperti ada sesuatu yang menggelayuti isi kepalanya. "Kamu... ngidam, ya?"
Sontak, keterkejutan menyentakku. Gelitik-gelitik aneh itu kembali menerjangku. Perasaan yang terkadang sangat sulit aku artikan semenjak kehadiran dia diantara aku dan Renza yang sampai detik ini belum sepenuhnya mampu aku tafsirkan. Ia bilang, aku ngindam? Tetapi, dorongan kuat dari diriku yang ingin mengabiskan sore menjelang malam dengan membingkai sunset bersamanya, apa... ini bisa disebut ngidam? Kan, konteksnya tak berhubungan dengan keinginanku untuk makan sesuatu.
"Kamu maunya aku temani ke mana, Honey?" tanyanya sambil mengecup punggung tanganku kembali.
Desiran aneh dibarengi degup jantung yang tak senormal biasanya, hampir-hampir memecahkan setiap inci sendi-sendi tulangku sewaktu panggilan honey untuk pertama kalinya ia gunakan untukku. Biasanya, kami hanya saling melemparkan panggilan sayang dengan sebutan yang lebih menyerupai panggilan ejekan. Seperti Somad vs Mince, misalnya. Tanpa sadar, bibirku melengkungkan senyuman bulan sabit. Sungguh, hal tersebut mampu membangkitkan kenangan apa saja diantara aku dan Renza selama kebersamaan kami bertahun-tahun lamanya.
"Aku mau ke pantai," pintaku.
Dengan mulut terkatup rapat, Renza memanuver mobil ke arah kanan. Dan mobil terus merangkak menuju pantai yang ingin sekali aku kunjungi untuk menghabiskan sore bersama tenggelamnya matahari di ufuk barat. Aku ingin menyaksikan kaki-kaki langit yang berwarna jingga hingga menuju temaram ketika awan-awan menggulungnya ke dalam kegelapan malam. Perpaduan deburan ombak, dan cakrawala keemasan sudah terbayang di depan mata. Betapa perpaduan yang sanggup membangkitkan perasaan sendu dan ketenangan yang aku cari belakangan ini.
***
Beberapa bendi berseliweran mengantarkan penumpangnya masing-masing. Desau angin sore mengacak-acak rambut yang aku biarkan tergerai. Beban berat itu seolah-olah diangkat perlahan dari kedua pundakku. Bibirku berkembang. Aku tersenyum membingkai sesuatu berwarna oranye di depan sana. Riak-riak ombak, aku biarkan menerjang kakiku yang telanjang. Pun, butiran pasir yang terasa menggelitiki telapak kakiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Here, After
RomanceCinta itu selalu punya cara untuk membuatmu kembali, sayangku. Sejauh apapun kau melangkah pergi, akan ada cara-cara tak terduga yang membuatmu memutuskan untuk menoleh ke belakang, kepadaku. Aku tak perlu mengikat hatimu. Karena, yang kau butuhkan...