MENUJU SENJA

697 59 2
                                    

Kamu harus tau, sekarang sudah hampir kenaikan kelas. Aku sibuk belajar buat Ujian Akhir Semester yang seminggu lagi akan dilaksanakan. Kak Nobi sudah bisa bernafas lega karena ia sudah diterima di Universitas ternama tujuannya. Kak Mario juga berhasil mendapatkan beasiswa ke luar negeri. Dan Hamids? Dia masih nyaman menggantungkan hubungan kami.

Tak ada yang berubah dari hari-hari sebelumnya. Kak Nobi masih berusaha mendapatkan hatiku. Okta masih kelihatan 'lembek'. Adam masih pacaran sama Elaine. Hamids masih sering ke angkringan sama temen-temennya. Dan aku juga masih jomblo. Gak ada yang berubah. Gak ada.

Entah apa yang dipikirkan Hamids. Ia seperti menginginkanku, tapi enggan memilikiku. Ia seperti menciptakanku, tapi enggan mematenkanku. Dia berkali-kali bilang mencintaiku, menyayangiku, menyukaiku tapi rasanya semua hambar akhir-akhir ini.

Aku masih menyimpan hatiku padanya. Sampai kapanpun. Sampai bagaimanapun. Tapi sepertinya menunggu gak seasyik itu. Bertahan gak semenyenangkan yang aku pikirkan. Dan mencintai tanpa kejelasan status tak sebercanda itu.

"sebentar lagi kita kelas 3 ya, Mids." Kataku.

"iya, terus lulus, terus kuliah!" katanya sumringah.

Kami sedang berada di Candi Prambanan. Menikmati gesekan angin dingin sehabis hujan sore. Ditemani rerumputan hijau di depan mata. Hanya berdua, sepulang sekolah. Kebetulan sedang sepi.

"kamu mau kuliah dimana, Gre?" tanyanya.

"belom kepikiran, Mids. Kamu?" asal kalian tau saja, sekarang kalau ngomong sama Hamids sudah pakai aku-kamu, bukan lo-gue lagi.

"sama. Aku kepikirannya kamu mulu, Gre." Katanya sambil memandang langit yang mulai memerah.

Aku tertawa kecil. Ia tersenyum simpul. Rasanya nyaman sekali bersama Hamids.

Kami ngobrol ngalor-ngidul. Apa aja bisa jadi bahan obrolan yang menyenangkan dengannya. Ia bilang ingin memanjangkan rambut alias gondrong gitu. Entah sudah mengakar pada keinginan setiap anak laki-laki atau bagaimana, hampir setiap cowok yang membicarakan masalah kuliah, menjadi gondrong adalah cita-cita mereka.

"setelah kuliah, kamu mau apa, Gre?" tanyanya.

"kerja, terus nikah." Jawabku enteng.

"sama aku ya? hahahahaha"

Ia tertawa. Aku tertawa. Padahal nggak lucu. Pengen aja.

"aku pengen punya rumah di Swiss. Yang deket danau. Terus dikelilingi rerumputan. Dari jendela rumah kelihatan pemandangan gunung. Syahdu banget!" oke, aku mulai ngelantur.

"gak enak dong, gak punya tetangga." Ah, Hamids. Merusak suasana aja.

"biarin. Kan enak, tiap hari bisa guling-gulingan di rumput. Sambil dengerin lagu-lagu kesukaan." Kataku yang masih bermain dengan imajinasi.

"aku nggak bisa tinggal di tempat yang kayak begitu. Susah cari angkringan." Katanya.

"ih, merusak imajinasi orang aja, sih!" aku pura-pura sebel. Tapi Hamidsnya cuek aja. Ia masih betah melihat langit.

"tinggal di Jogja aja udah enak. Nyaman, orang-orangnya ramah, ada angkringan pula. Hehehe." Katanya. Ia tertawa jayus.

"ya, asal hotel-hotel sama Mall gak makin banyak, Mids. Kalo makin banyak ya sama aja."

Ia bercerita banyak. Tentang masa kecilnya, tentang cita-citanya, tentang segala yang ia ingin tumpahkan. Bahkan tentang masa lalunya.

Hamids bilang, dia pernah sekali berpacaran sebelum dekat denganku. Dia bilang saat itu ia sangat menyayangi mantannya. Begitupun mantannya. Ia terus bercerita. Aku, sih, maklum. Toh aku pribadi juga punya masa lalu.

MidunWhere stories live. Discover now