Salju belum juga berhenti berjatuhan dari langit, tidak ada tanda-tanda akan mereda sejak semalam. Angin berhembus kencang menerbangkan kepingan-kepingan salju searah angin.
Langit sore tertutupi oleh kabut tebal. Cuaca buruk menghentikan pemakaman Ratu Quanda yang seharusnya dilaksanakan sore ini.
Tidak ada yang menduga. Kemarin Ratu Quanda masih tersenyum bangga dihadapan ratusan rakyat Bellvania. Tetapi sekarang wanita itu terbaring tidak bernyawa di dalam peti dengan setangkai bunga Lily digenggamannya.
Charlos duduk seorang diri pada salah satu kursi yang tersusun berjejer ke belakang di Aula Istana. Mata merah yang membengkak menatap kosong peti berwarna coklat di atas panggung. Penasihat istana dan tabib Balden baru saja meninggalkan ruangan ini. Kebencian dan dendam bertambah membara dalam diri pria itu.
Bahkan hanya untuk menyebut nama Julian terasa sangat menyakitkan. Bagaimana tidak, salah satu pria yang selama ini ia hargai telah berhasil merenggut dua orang terpenting dalam dirinya. Tatapan kosong itu berubah menatap bengis.
Sepuluh menit berlalu sejak tabib Balden meninggalkan Aula Istana, tetapi perkataan tabib itu masih mendengung ditelinganya.
Tabib Balden mengatakan penyebab kematian Ratu yang terkesan mendadak diakibatkan racun yang menggorogoti dan merusak setiap sel dan saraf serta menghancurkan semua organ dalam ibunya secara perlahan.
Luka dileher Ratu Quanda menghitam menjadi awal mula racun yang diduga berasal dari ular paling berbisa di laut hitam. Bisa ular dicampurkan ke bubuk bunga yang membuat racun tidak langsung beraksi setelah memasuki tubuh Ratu.
Charlos tahu bagaimana Ratu mendapatkan luka dilehernya. Semua itu ulah pedang Julian. Seharusnya sejak awal ia menyadari kedatangan Julian memiliki tujuan besar. Pria itu dengan berani menemuinya dan Ratu secara langsung.
Sekarang ia mengerti. Sepertinya karena pria lemah yang selama ini tersemat pada dirinya membuat Julian sangat meremehkannya. Rahang Charlos mengetat, kedua tangannya terkepal kuat. Giginya sampai mengeluarkan bunyi saat bergesekan.
Suara derit pintu menyapa gendang telinga Charlos. Hanya dalam hitungan detik raut wajah pria itu berubah dengan cepat menjadi datar. Derap langkah pertemuan sepatu dan ubin Aula semakin terdengar jelas saat langkah kaki itu mendekat.
Seseorang duduk di samping Charlos. Tanpa menoleh ia tahu siapa yang meletakkan selimut tebal di bahunya sekarang.
"Kau menggunakan baju tipis. Itu bisa membuatmu jatuh sakit." Dengan telaten Helena memperbaiki letak selimut. Helaaan napas berat Helena terdengar. "Kau bahkan belum meminum obatmu."
"Penasihat istana dan tabib Balden baru saja datang menemuiku." Perkataan Charlos menghentikan Helena. Netra keduanya bertemu saat pria itu menoleh ke samping. "Kau tahu apa kata tabib?"
Helena menggeleng pelan. Tidak! Dia jelas tahu apa yang akan dikatakan tabib Balden tetapi akan sangat mencurigakan jika ia mengatakan mengetahuinya saat penasihat istana belum mengeluarkan pernyataan resmi. "Tabib mengatakan hal yang menyakitkan?" tanyanya.
Benjolan di depan tenggorokan Charlos bergerak saat ia menelan ludah. "Tabib mengatakan Ratu telah diracuni. Kau tahu siapa orang kejam yang telah membunuh Ratu?" Lagi-lagi Helena menggeleng.
"Julian," bisik Charlos di depan wajah Helena. "Julian yang melakukannya."
Kedua tangan Helena menutup mulut dengan mata membesar. Dia menatap Charlos seakan tidak percaya. Bersandiwara bukanlah hal baru baginya.
Keterkujat Helena menimbulkan senyum miring dibalik wajah tanpa ekspresi Charlos. Dia menjauhkan kembali kepalanya. "Seharusnya kau tidak perlu terkejut. Di dunia ini hanya Julian seorang yang menginginkan kematian Ratu. Oh tidak, bukan hanya Ratu. Dia juga menginginkan kematianku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi ■ True Destiny
FantasyKembali mengulang takdir. Akankah semuanya tetap sama? Haruskah dia menghindar? Atau, Berjuang bersama untuk mengubah takdir masa lalu. Ini tentang mereka yang ditakdirkan bersama tetapi terhalang oleh sesuatu yang tidak terlihat. *Jane Georgiana Ma...