23 | Dua Jiwa Satu Perjalanan

23 10 0
                                    

“Kam, karena aku tak yakin kau akan baik-baik saja di asrama, kau lebih baik tinggal di apartemenku saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kam, karena aku tak yakin kau akan baik-baik saja di asrama, kau lebih baik tinggal di apartemenku saja.”

Tidak ada jawaban. Minghao yang duduk di kursi pengemudi melirik gadis di sampingnya. Kama terlihat sibuk memelototi ponsel pintarnya. Dari arah samping, ekspresi gadis itu terlihat jelas sedang memendam kecemasan.

“Kam, kau dengar aku?” Minghao menyentuh lembut lengan Kama.

Mereka baru saja tiba di Shanghai setelah melakukan penerbangan satu jam lamanya dari Quanzhou. Awalnya semua baik-baik saja. Namun, setelah Minghao–yang memutuskan menyetir sendiri mobilnya alih-alih meminta Bing Yi menjemput–melajukan kendaraan ke arah apartemen, terbuka sudah kegelisahan gadis itu.

“Hao?” panggil Kama dengan suara bergetar. “Bisakah kau mengantarku ke Pudong?”

“Mau ke mana?”

Kama menyebutkan satu nama rumah sakit. “Sahabatku terluka parah. Aku harus segera melihatnya.”

“Kau juga belum pulih total, Kam. Besok saja kita ke jenguk sahabatmu.”

“Tidak bisa, harus sekarang, Hao. Dia bukan hanya sahabatku, tapi juga saudaraku.” Kama bersikeras.

Minghao berpikir sejenak. Saat ini jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Rumah sakit pasti sedang ramai-ramainya orang. Datang ke sana tanpa persiapan, bagi Minghao sama dengan aksi menyerahkan nyawa kepada para fans.

Bukan berarti dia megalomania. Minghao hanya sedang ingin menikmati waktu berduaannya yang sangat langka bersama Kama. Hanya saja, melihat sorot mata memohon ditambah gurat kecemasan di wajah gadis itu, akhirnya Minghao luluh juga.

“Aku antar ke sana, tapi kita mampir beli topi dan jaket dulu. Aku tak bawa semua itu di mobil.”

Kama tak berkomentar. Dia hanya mengangguk. Mereka sempat berhenti beberapa menit di satu butik pria untuk membeli keperluan penyamaran Minghao. Selama itu pula, Kama berkali-kali membaca ulang pesan yang dikirim nomor tidak dikenal padanya.

[Nona Gendhis baru saja mengalami kecelakaan. Kondisinya saat ini sudah stabil. Anda tidak perlu khawatir. Namun, menurut saya, sebaiknya Anda segera datang ke sini untuk memberi dukungan kepada Nona Gendhis.]

Pesan yang datang tanpa nama pengirim itu menyertakan lokasi Gendhis dirawat. Satu tautan artikel juga dikirim yang menginformasikan tentang kebakaran hebat di mana Gendhis adalah salah satu korbannya.

“Jangan khawatir. Sahabatmu pasti baik-baik saja.” Minghao menenangkan setelah kembali ke mobil.

Kama tak bisa fokus. Kondisinya sudah serupa robot yang belum diinstal perangkat lunak. Kosong. Linglung. Bahkan Kama tidak menyadari aksi kemesraan Minghao yang mengecup dahinya untuk menenangkan gadis itu.

Begitu sampai di lokasi, gadis itu segera menerobos masuk kamar inap. Hati Kama hancur melihat sahabatnya berbaring tidak sadarkan diri. Seseorang yang mengaku bernama Jiang Lin memberi Kama kesempatan untuk menggantikannya menunggui Gendhis.

Brides for the HeirsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang