Tak Semestinya

109 31 93
                                    

Hari-hari berlalu begitu berat bagi Leandre. Ia tak pernah meninggalkan sisi Aveline, meskipun kondisinya masih dalam keadaan koma. Setiap pagi, siang, dan malam, Leandre terus berada di ruang rumah sakit, menjaga Aveline, berdoa, berharap ia bisa bangun, berharap bisa melihat mata indah Aveline yang cerah dan mendengar suaranya yang selalu menenangkan hatinya.

Namun, meskipun tubuhnya lelah dan hatinya penuh kecemasan, ia tak pernah beranjak. Sahabat-sahabat Aveline, termasuk Melly, juga sering datang untuk menemaninya. Mereka berbicara dengan Aveline, berharap suara mereka bisa membangunkan Aveline dari tidur panjangnya.

Melly, yang selalu mendampingi Leandre di hari-hari sulit itu, mencoba menenangkan Leandre setiap kali ia merasa putus asa. Namun di balik senyumnya yang tegar, Melly juga merasa sangat tertekan. Aveline adalah sahabat terbaiknya, dan kini dia harus melihat sahabatnya terbaring tak berdaya, begitu jauh dari dirinya.

Hari itu, Leandre baru saja keluar dari ruang rawat Aveline untuk sejenak menghirup udara segar. Ia duduk di bangku luar rumah sakit, matanya kosong menatap ke arah langit yang cerah, tetapi hatinya terasa begitu berat. Ia berharap Aveline bisa merasakan keberadaannya, berharap Aveline bisa bangun dan kembali berbicara dengannya.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Melly, dan Leandre langsung membukanya dengan tangan yang sedikit gemetar.

"Ndre, sini ke rumah sakit! Aveline, dia udah gak ada, Ndre!"

Pesan itu seakan menghantam langsung ke dadanya. Seperti dunia berhenti berputar. Leandre merasa tubuhnya serasa hancur. Jantungnya berdegup kencang, darahnya seolah membeku. Matanya terbuka lebar, berusaha mencerna kata-kata dalam pesan tersebut, tetapi seakan otaknya tak mampu mengerti.

"Apa? Tidak... ini tidak mungkin..." bisiknya pelan, suaranya tercekik, hampir tak keluar. Dengan cepat, Leandre berlari kembali ke rumah sakit, melangkah dengan terburu-buru meskipun rasanya setiap langkahnya terasa seperti beban yang tak tertahankan.

Setibanya di ruang rawat Aveline, Melly sudah berdiri di depan pintu, wajahnya pucat, dan air mata mengalir di pipinya. "Ndre... Aveline... dia... dia udah gak ada." Melly berkata dengan suara gemetar, hampir tak bisa menahan tangisannya.

Leandre berdiri terpaku di depan pintu, seperti diserang oleh gelombang rasa sakit yang sangat dalam. "Gak... mungkin. Lo... lo pasti salah, Mel. Gue baru aja di luar... dia harusnya bisa bangun..." Suaranya patah, matanya tak bisa lagi menahan air mata yang kini mulai mengalir deras.

Leandre melangkah masuk ke ruangan, mendekati ranjang Aveline yang kosong. Tubuhnya terkulai lemah, wajahnya yang dulu penuh kehidupan kini terlihat pucat dan hening. Seperti kehilangan seluruh cahaya di dunia. Leandre menggenggam tangan Aveline dengan lembut, merasakan dinginnya tubuhnya yang tak lagi memiliki kehangatan.

"Aveline..." suara Leandre pecah. "Gue janji, gue akan selalu ada buat lo... Gue janji gue gak akan ninggalin lo... kenapa lo ninggalin gue, Vel?" tangisnya tak bisa ditahan lagi, terdengar sangat dalam, penuh penyesalan dan kesedihan yang tak terucapkan.

Melly berdiri di sampingnya, menangis bersama, karena ia tahu betul betapa dalamnya cinta Leandre terhadap Aveline. Mereka berdua kini hanya bisa merasakan kehilangan yang luar biasa, berdoa agar Aveline mendapatkan kedamaian yang layak ia dapatkan.

Namun bagi Leandre, dunia ini terasa hampa. Semua harapannya, semua rencananya, semuanya hancur begitu saja. Ia tak tahu harus bagaimana lagi.

Bunda Aveline berlari masuk ke ruangan, matanya penuh ketakutan dan kecemasan. Ia melihat Leandre yang terisak di sisi ranjang Aveline, dan melihat Melly yang berdiri di sampingnya dengan wajah penuh air mata. Tubuh Bunda Aveline bergetar saat ia menatap ke arah putrinya yang terbaring tanpa daya di ranjang rumah sakit.

Leandre Andros : Dia Tahu Bagaimana Melukai dan MencintaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang