Aditya Utomo :
"Lagi di mana?"Seperti biasa, Aditya terus mencoba dan mencoba mengganggu hidup Zahra yang membuatnya berakhir menghabiskan makan siangnya sambil menatap ponselnya yang tak kunjung terdapat pemberitahuan balasan pesan itu meskipun Zahra sudah membacanya.
"Kami ciuman dua kali dan gak pernah kencan. Menikah tapi rasanya kayak gak menikah. Aku yang memulai dengan hal yang keliru, dan dia sepertinya terbiasa menyesuaikan dengan gaya lama. Sampai kapan begini terus? Aku memang gak bisa dimaafkan semudah itu." Aditya sadar diri.
Tiba-tiba seorang pelayan pria datang memberikan sebuah kertas kecil. "Dari perempuan yang di ujung sana, Pak."
Aditya mendongkak dan melirik perempuan di meja paling ujung yang dimaksud. Seorang wanita muda berpakaian terbuka yang tampak tersenyum malu-malu ke arahnya seolah melempar kode. Dia membuka kertas kecil itu dan mendapati nomor ponsel lengkap dengan nama.
"Hah ...." Dia menghela napas jengah sebelum melipat kembali kertas itu dan mengembalikan kepada pelayan di sampingnya itu. "Maaf Mas, mohon dikembalikan saja. Saya sudah memiliki istri."
Pelayan pria itu sampai menatapnya tak percaya sebelum menahan tawanya. "Istrinya galak, ya, Pak?"
"Tapi cantik," balas Aditya yang sukses membuat keduanya tertawa bersama sebelum pelayan itu pergi mengembalikan kertas kecil itu ke pemiliknya.
Tiba-tiba ponsel Aditya bergetar menandakan panggilan masuk dari kontak bernama, "Istri Sah" yang diangkatnya dengan cepat dan sigap.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap Aditya menahan senyum anehnya.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Kamu di mana?" Nada Zahra terdengar serius seperti biasanya seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Tapi mendengarnya saja sudah membuat Aditya bahagia.
"Lagi makan siang di luar. Kamu sudah makan?"
"Alhamdulillah sudah. Saya dapat telepon dari Tante Aruna, diminta mengunjungi dan makan malam di rumah beliau bersama kamu. Saya belum bisa karena masih harus lembur. Saya termasuk dalam tim persiapan akreditasi. Kamu saja yang pergi, ya. Bisa kan?"
Aditya sedikit kecewa tapi berusaha ditutupinya. "Oh ... oke."
"Kalau Tante Aruna tanya kita sudah program hamil atau belum, kamu jawab saja dengan jujur. Tapi pastikan gambaran hubungan saya dan kamu jangan dibicarakan. Beliau senior secara usia, bisa curiga."
"Kenapa kita tidak program saja? Saya dalam kondisi prima." Aditya memancing.
"Saya tidak ingin memiliki anak bersama kamu. Suatu saat ini semua akan berakhir. Saya ingin melanjutkan hidup saya. Tolong dipahami," tegas Zahra tanpa keraguan sama sekali yang membuat Aditya tersenyum getir.
"Pulang jam berapa?" tanya Aditya mengalihkan pembicaraan.
"Tidak menentu. Bisa lebih lama. Jangan tunggu dan jangan mencari saya di sekolah." Nada Zahra terdengar memerintah.
"Perempuan yang duduk di ujung memberikan saya kertas berisi nama dan nomor teleponnya." Aditya ingin mengetahui reaksi Zahra.
"Apa kamu terima?" tanya Zahra cepat.
"Kenapa kalau saya terima?" Aditya memancing lagi.
"Oh ... saya tidak kaget lagi. Kamu memang terbiasa nyaman di pelukan perempuan lain."
Tet
Zahra mengakhiri panggilan lebih dulu tanpa permisi membuat Aditya menatap ponselnya dengan heran. "Apa bisa bilang salam dulu sebelum mengakhiri panggilan?" gumamnya sambil geleng-geleng kepala. Pusing. "Aku gak tahu lagi harus bagaimana biar kami bisa menjadi suami istri yang ... normal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mencari Hati Aditya
Spiritual"Aku tidak akan membiarkanmu mati dengan mudah! Selamat datang di neraka!" Zahra seorang guru muda berprestasi yang telah menginjak usia 29 tahun tapi belum kunjung menikah. Setiap hari dia berdoa untuk mendapatkan jodoh terbaik dalam hidupnya, hing...