Masalah

144 24 13
                                    

"Bos, tangkep!" Xeno melempar satu buah es krim kepada Leandre yang duduk santai di atas motornya. Refleks, Leandre menangkap es krim itu dengan satu tangan. Ia mendongak, menatap Xeno dengan ekspresi datar.

"Es krim? Serius?" Leandre mengangkat alis, suaranya datar seperti biasanya.

Xeno tertawa kecil sambil membuka bungkus es krim miliknya. "Kadang hidup lo butuh yang manis-manis, Ndre. Lo udah cukup pahit," katanya sambil menepuk bahu Leandre.

Leandre menghela napas, tapi ia tetap membuka bungkus es krim itu dan menggigit ujungnya. Sensasi dingin langsung terasa di lidahnya. Xeno duduk di samping motor Leandre, menatap langit sore yang mulai berubah jingga.

"Bos, lo pernah ngerasa capek enggak?" tanya Xeno tiba-tiba, suaranya berubah lebih serius.

Leandre menoleh sekilas. "Capek soal apa?"

"Ya, capek jadi... diri lo sendiri. Capek harus kelihatan kuat terus. Kadang gue mikir, apa enggak ada yang ngerti gue, selain geng ini," jawab Xeno, sambil memainkan bungkus es krim yang sudah kosong.

Leandre terdiam sejenak. Ia memandang lurus ke depan, ke jalanan sepi yang membentang. Kata-kata Xeno menyentuh sesuatu di dalam dirinya, sesuatu yang ia pendam begitu lama. "Kita semua capek, Xen. Tapi capek itu enggak bikin dunia berhenti," jawabnya akhirnya, suaranya rendah.

Xeno tertawa pahit. "Iya sih, lo bener. Tapi, kayaknya lo lebih capek dari siapa pun, Ndre. Kadang gue heran, lo bisa tahan kayak gitu."

Leandre tidak menjawab. Sebagai pemimpin, ia memang harus terlihat kuat. Tapi di balik semua itu, ada luka yang tak pernah sembuh. Luka yang bahkan ia sendiri tak yakin bisa ia bagi dengan siapa pun.

"Lo tahu, Xen," ujar Leandre pelan, "Kadang gue pengen berhenti. Tapi gue enggak tahu gimana caranya."

Xeno menatap Leandre, terkejut mendengar kejujuran itu. "Bos, lo tau, kan? Kita semua ada buat lo. Gue, anak-anak yang lain... Aveline juga." Nama terakhir itu keluar dengan nada hati-hati.

Leandre menegang sejenak. Aveline. Gadis itu selalu muncul di pikirannya, bahkan ketika ia mencoba melupakan. Tapi, di saat yang sama, ia juga takut. Takut bahwa dirinya hanya akan membawa masalah ke dalam hidup gadis itu.

"Gue enggak yakin gue layak buat apa pun, Xen," gumam Leandre. "Termasuk dia."

Xeno mendesah panjang. "Bos, lo emang keras kepala. Tapi kalau Aveline bisa lihat lo sampai sekarang, dia pasti tahu lo orang yang baik. Lo cuma perlu percaya sama diri lo sendiri, Ndre."

Leandre terdiam. Kata-kata Xeno menggema di pikirannya. Sore itu, dengan es krim yang perlahan meleleh di tangannya, Leandre merenung lebih dalam dari biasanya.

Langit mulai gelap, tapi di antara senja yang memudar, ada secercah cahaya yang entah kenapa terasa sedikit lebih terang. Mungkin, untuk sekali ini, dia harus mencoba percaya.

***

"Vel..., udahlah yok kita keluar bentar ke toko es krim! Belajarnya lanjut sesudah beli es krim aja," ucap Melly dengan nada kesal sambil melipat tangan di dada. Matanya menatap tajam ke arah Aveline, yang sejak tadi sibuk membaca buku pelajarannya tanpa sedikit pun terganggu.

Aveline mendongak dengan raut wajah bingung. "Tapi tugas ini harus selesai sebelum besok pagi, Mel. Kalau enggak—"

"Kalau enggak gimana? Dosen kita juga pasti butuh es krim!" potong Melly sambil menarik buku dari tangan Aveline.

"Mel!" protes Aveline, tapi Melly sudah beranjak dari tempat duduk, memungut tas kecilnya, dan mengarahkan pandangan penuh makna ke Aveline.

"Vel, gue tahu lo rajin banget, tapi lo juga butuh istirahat. Yuk lah, cuma sebentar. Gue traktir es krim favorit lo," goda Melly, mengacungkan jari telunjuknya.

Leandre Andros : Dia Tahu Bagaimana Melukai dan MencintaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang