Arin terbangun dengan teriakan keras, air matanya mengalir deras. Dika dan Rahmat yang tidur di sebelahnya langsung terbangun, khawatir.
"Dika... Rahmat... aku... aku tidak ingin kembali ke neraka itu!" Arin berteriak, napasnya terengah-engah.
Rahmat segera memeluk Arin, menenangkannya. "Tenang, Arin. Kamu sudah aman. Kami ada di sini untukmu." Dika juga mendekati, menempatkan tangannya di bahu Arin.
Arin menatap Rahmat dengan mata basah, suaranya terketak-ketuk. "Rahmat, aku minta maaf... atas semua kesalahanku. Aku tidak pantas menerima kebaikanmu."
Rahmat tersenyum lembut, memeluk Arin erat. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Arin. Kami sahabat. Kami saling mendukung." Dika juga mengangguk setuju.
Dika tersenyum, lega melihat perubahan di wajah Arin. "Kabar baik ini, Arin. Kamu sudah mulai melepaskan beban masa lalu. Kami akan mendukungmu sepenuhnya," kata Dika, menepuk bahu Arin.
Rahmat juga mengangguk, "Kita akan melalui semua ini bersama."
Arin menunduk, suaranya pelan. "Terima kasih, kalian. Aku merasa susah melupakan kejahatanku, tapi dengan kalian, aku merasa ada harapan untuk memulai kembali." Air matanya kembali mengalir, namun kali ini dengan rasa syukur dan harapan.
Rahmat tersenyum lembut. "Arin, semua manusia memiliki kesalahan. Yang penting adalah kamu sudah menyadari dan ingin berubah. Itu langkah pertama menuju pemulihan. Kami akan mendukungmu." Dika mengangguk setuju, memberikan senyum dukungan.
Arin menatap ke atas, matahari yang masuk melalui jendela membuatnya menyadari bahwa dia masih diberi kesempatan untuk hidup. Dia tersenyum, merasa syukur dan berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberinya kesempatan kedua.
"Terima kasih, Tuhan," katanya pelan. "Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."
Rahmat tersenyum, menepuk bahu Arin. "Kamu bisa melakukannya, Arin. Kami percaya padamu."
Dokter dan suster memasuki kamar, memeriksa kondisi Arin dengan teliti. Dokter tersenyum, "Kondisi Arin membaik secara signifikan. Tekanan darah dan detak jantungnya stabil. Ini perkembangan yang sangat positif."
Suster menambahkan, "Kami akan terus memantau kondisinya dan memberikan perawatan yang optimal."
Arin tersenyum lemah, merasa lega dan berterima kasih atas perawatan yang diterima. Rahmat dan Dika juga terlihat lega dan bahagia melihat sahabat mereka sembuh.
Rahmat menatap Arin dan Dika dengan sedih. "Sebentar lagi aku akan berpisah dengan kalian. Pasti orang tuaku sudah tahu aku disini. Aku harus kembali ke rumah."
Arin dan Dika saling menatap, merasa sedih karena harus berpisah dengan Rahmat. "Jangan lupa, Rahmat, kami akan selalu mendukungmu," kata Arin.
Dika menambahkan, "Kami sahabat selamanya."
****
Di penjara yang gelap dan sunyi, Rasyid dan anak buahnya tergeletak di lantai, tubuh mereka lelah dan terluka parah akibat cambukan berkepanjangan.
Rasyid menatap langit, mata penuh penyesalan. "Aku tidak akan pernah membiarkan ini terjadi lagi," katanya pada dirinya sendiri.
Suara erangan dan rintihan sakit Rasyid dan anak buahnya memenuhi koridor penjara, menyebar ke seluruh penjara. Tahanan lain, yang terpisah dari sel mereka, mendengar suara tersebut dengan rasa takut dan khawatir.
Salah satu tahanan, yang sudah lama dipenjara, berbisik kepada temannya, "Apa yang terjadi? Mengapa mereka disiksa seperti itu?"
Temannya hanya menggelengkan kepala, tak berani menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEWARA THE SERIES (On Going)
Teen Fiction(TAHAP REVISI) Ketika tiga pribadi berbeda-introvert, arogan, dan humoris-bersatu dalam persahabatan, perbedaan sifat dan agama tidak menjadi penghalang. Mereka malah menjadi tak terpisahkan. Hati yang indah kini jauh dari pandanganku. Aku menyesal...