Kenapa nggak ada yang komen di bab 1? Bingung kah? Semoga dengan bab 2 ini teman-teman nggak bingung.
Karya ini milik Ry-santi (Ry-santi). Vote dan komen yang banyak.
🔥🔥🔥
"Ah, si tantrum lagi," desis Maya bersiap menghadapi Danu.
Terkadang ingin sekali Maya merutuki impian semasa kecil yang terlalu ambisius menjadi seorang perawat. Bila tahu takdir akan menyeretnya ke dalam lingkup yang sama dengan Danu, pilihan hengkang terdengar jauh lebih baik. Sialnya, resign tidak semudah membalikkan telapak tangan manakala dirinya sudah terikat kontrak dua tahun. Tentu saja alasan terbesarnya adalah bayang-bayang penalti yang selalu menjadi momok menakutkan.
Selain itu, tak gampang menemukan lowongan pekerjaan di tengah persaingan ketat di antara mereka yang punya jalur orang dalam. Belum lagi mengurus surat ijin praktik yang terbilang menguras tenaga juga waktu. Oleh karenanya, mau tak mau, Maya harus bertahan sampai kontrak selesai sebelum berkelana ke instansi lain.
Dalam hati, Maya bertanya-tanya kenapa Danu selalu melakukan kunjungan pasien di waktu-waktu dia sedang dinas jaga. Padahal dokter-dokter lain selalu datang siang hari selepas jam pelayanan rawat jalan atau menyuruh PPDS untuk memantau kondisi pasien.
"Pffttt ..." Maya mengerucutkan mulut seraya menyiapkan cairan injeksi sore.
Danu menangkap sinyal yang dilemparkan Maya tapi berlagak bodoh karena Diah langsung memasang badan tuk mendampinginya visite. Begitu mendengar laporan Diah, atensi Danu terpecah antara memerhatikan hasil rontgen yang tampak tak normal dan kehadiran Maya yang tak jauh dari kepala tim tersebut.
Dalam diam, Danu menyorot penampilan Maya; rambut hitam legam sebahu, kulit langsat yang mengingatkannya pada pendar mentari pagi, hidung mancung yang membulat di ujungnya hingga ... lekukan bibir tebal dipulas lipstik merah muda.
Tidak ada yang berubah bahkan aroma parfum kesukaan Maya masihlah sama. Dia yakin kalau gadis itu menggunakan merek yang sama persis seperti yang dihadiahkan kepadanya dulu. Kontan kerutan dalam tercetak jelas di kening Danu saat diserbu jutaan tanda tanya. Jikalau tak suka kenapa Maya masih mempertahankan sisa-sisa kenangan mereka?
"Dok?" Suara Diah menyatukan kembali kesadaran Danu yang sempat menghilang entah ke mana. "Saya ngomong panjang kali lebar kali tinggi sampai berbusa malah melamun sendiri."
"Siapa juga yang melamun," ketus Danu seraya menekan file hasil CT-Scan.
Tak lama layar komputer dipenuhi gambar hitam-putih dengan kontras yang jauh lebih jelas di mana ada sumbatan di area bronkus utama. Selain itu, massa atau benjolan kecil juga menghiasi bagian epitel bronkus yang mengarah ke keganasan paru. Matanya menyipit mendapati ada rongga-rongga abnormal di sana. Sekarang Danu perlu membuktikan dugaan melalui biopsi sebelum memutuskan tindakan macam apa yang akan diberikan.
"Saya rencanakan untuk biopsi ya," lanjutnya mengeklik permintaan pemeriksaan histologi. "Takutnya bukan pneumonia biasa. Batuknya gimana? Masih terus-terusan?"
"Iya. Tadi siang pasien mengeluh kalau batuknya disertai darah dan saturasi sempat turun, jadi kami naikkan pemberian oksigennya sampai dua belas liter per menit," jelas Diah.
"Itu suruh cek lagi," tunjuk Danu ke arah Maya tanpa melihat. "Berapa saturasinya."
"Maya?" Diah ikut-ikutan menunjuk juniornya. "May, tolong cek lagi saturasi bapak Rahmat dong."