Ketika saya berdiri di depan makam ibu dan ayah saya di Kota Bandung, saya menatap dua makam yang kini menjadi satu-satunya kenangan akan kedua orang tua kami yang telah tiada. Di tengah suasana hati yang berat, adik perempuan saya yang telah didiagnosis autisme sejak lahir itu berdiri di samping saya dengan senyum yang sama sekali tidak terduga dan penuh kegembiraan.
Ketika saya menatap wajah adik perempuan saya yang menggemaskan itu, saya melihat bahwa dia berseri-seri karena kegembiraan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kenyataan yang saya alami secara pribadi. Saat saya memulai doa dengan suara yang tercekat, adik perempuan saya itu sibuk melihat ke sekeliling, matanya berbinar-binar seolah-olah dia sedang menikmati dunia yang berbeda dari yang sedang saya hadapi. Sambil menyeringai ke arah langit yang menyala-nyala sambil memegang payung, dia berusaha melindungi kami berdua dari terik matahari tanpa menyebabkan kerusakan pada kulit kami. Namun, wajah saya terasa kaku, seolah-olah terbebani oleh beban yang sulit diungkapkan.
Aku berusaha keras mengendalikan emosiku, bahkan menahan air mata yang mulai mengalir di sudut mataku. Meskipun hatiku hancur, aku mulai berbicara dengan suara serak, merasakan beratnya kata-kata yang harus kukatakan lebih dari apa pun. Kata-kata "Ayah! Ibu! Untuk pergi ke Jepang, aku dan adikku mengambil libur untuk tidak berdoa dan mengunjungi kalian untuk waktu yang lama. Maksudku, aku dan adikku pergi ke sana untuk bekerja. Salah satu karyaku laku keras di pasaran luar negeri, dan aku telah dikontrak untuk menulis novel lainnya di sana."
Aku berusaha menahan air mataku agar tidak jatuh saat mengingat kejadian itu sebentar. Aku sadar bahwa ini adalah pilihan yang penting. Aku mengambil langkah ini demi kita berdua, untuk memastikan bahwa kita akan mampu bertahan hidup di negara asing. Namun, apa yang membuatnya terasa begitu berat? Mengapa aku merasa harus meninggalkan orang tuaku, yang tidak dapat kuhubungi lagi? Rasanya seperti ada yang hilang dariku, dan aku takut tidak akan bisa mendapatkan kembali apa yang telah diambil dariku.
Di sisi lain, adikku terus tersenyum meskipun dia tidak bisa memahami emosi yang sedang kualami. Selama aku diliputi rasa kehilangan yang mendalam, adikku hanya bernyanyi dengan gembira, menyanyikan sebuah lagu yang berasal dari masa lalu yang tak seorang pun bisa ingat. Itu adalah lagu yang sama yang sering dia nyanyikan tanpa sengaja, tanpa menyadari betapa dalam kerinduannya.
Saat aku melanjutkan, aku berusaha menyembunyikan air mata yang semakin sering keluar. Singkatnya, kami berdua pindah ke lokasi baru dan pergi ke sana, termasuk Ayah dan Ibu. Dalam upaya untuk membuat kehidupan di sana lebih nyaman, kami berdua meminta doa kepada kedua orang tua kami agar daerah itu dibuat lebih aman dan tidak terlalu berlika-liku atau sulit bagi kami. Aku optimis bisa meraih ketenaran yang lebih besar dan menjual banyak eksemplar buku-bukuku untuk menghidupi kami berdua dibandingkan di Indonesia.
Meskipun suaraku tercekat dan aku harus berhenti sekali lagi, adik perempuanku terus terkekeh pelan dan melompat-lompat, sama sekali tidak peduli dengan kata-kata yang baru saja kuucapkan. Rasanya seolah-olah kenyataan yang kuhadapi berbeda dari dunia yang ia amati. "Agar aku bisa memindahkan kalian berdua ke Jepang. Agar aku bisa mengunjungi dan berdoa di makam kalian sambil bekerja dan merawatnya!"
Aku telah mencapai titik di mana aku tidak bisa lagi menahan air mataku, meskipun hanya sedikit yang keluar. Baik rasa kehilangan maupun rasa memiliki sejumlah besar tugas bercampur menjadi satu.
Meskipun ia tidak dapat memahami emosiku, adik perempuanku terus disibukkan dengan dunianya sendiri, bernyanyi, tertawa, dan sesekali merengek dan meminta untuk pulang. Satu-satunya hal yang diinginkan adik perempuanku adalah pulang ke rumah ketika aku merasa terisolasi dan terbebani oleh jutaan emosi yang tidak dapat kuungkapkan. Sudah waktunya kami kembalilah ke rumah nenek kami yang kecil, yang merupakan lokasi yang menurutnya aman dan nyaman. "Ayo, Dik, kita pulang sekarang!" seru diriku sambil tersenyum, yang memberi kesan seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku menyadari betapa beratnya beban yang harus kutanggung. Selain kehilangan kedua orang tuaku, aku juga dibebani dengan beban berat mengurus adikku yang tidak mampu memahami emosi yang sedang kualami. Mengingat dia mengidap autisme, aku sadar bahwa aku harus terus memberinya perhatian dan kasih sayang. Karena otaknya belum berkembang sepenuhnya hingga dia berusia delapan tahun, aku dituntut untuk mengambil alih perannya sebagai pengganti kedua orang tuanya yang sudah tiada.
Setelah menarik napas dalam-dalam, aku menyeka air mata yang masih membasahi wajahku, lalu aku mulai mengajak adikku pulang, meskipun hatiku terasa begitu berat. Yang kulihat hanyalah dunia yang penuh dengan kegembiraan dan ketidakpedulian saat aku melihat adikku. Di sisi lain, aku terpaksa terus hidup sendiri dan memikul sejumlah besar tanggung jawab yang tidak pernah kupilih dari awal. Tapi aku telah memilihnya, memilih jalan yang terjal dan sulit sendirian.
YOU ARE READING
Novel's Behind Story
Fantasy(Story and Description will update later. The character stil not yet have name) Indonesia! Kehilangan seorang ibu adalah luka yang tak tergantikan, terlebih ketika ayah telah lama tiada. Dalam duka yang baru, aku dan adik perempuanku, yang memiliki...