Titik Awal

203 31 12
                                    

Peduli bukan hanya tentang memberi, tetapi tentang merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mengulurkan tangan saat dunia terasa berat, dan memberi kehangatan di saat kesepian. Peduli adalah bahasa hati yang tak terucapkan, tetapi dirasakan lebih dalam daripada kata-kata.

Leandre pergi menuju markas. Laki-laki itu berjalan dengan wajah kosong, langkahnya terasa berat meskipun tubuhnya tampak tegap dan penuh dengan kewibawaan.

"bos lo, gpp? Kata Xeno tadi lo berkelahi ama preman!" tanya Vito peduli.

Leandre melangkah lebih cepat, mencoba menepis pertanyaan Vito yang datang dengan nada cemas. Meski wajahnya tetap terlihat datar, perasaan yang menggelora di dalam dirinya tak bisa begitu saja dia hindari.

"Gue baik-baik aja, Vito. Gak usah khawatir," jawab Leandre dengan suara datar, meskipun napasnya sedikit terdengar berat.

Vito percaya dengan ucapan itu, dan ia mencoba menanyakan kembali perihal apa aja yang terjadi tadi.

"Kata Xeno, tadi ada perempuan yang menghampiri lo? Itu, perempuan yang sama dari SMK Nebula?"

Leandre menghentikan langkahnya sejenak. Tatapannya tajam, menembus langsung ke arah Vito yang kini berdiri dengan wajah penasaran. "Apa pentingnya itu buat lo, Vit?" tanyanya, nada suaranya tetap datar namun dengan sedikit tekanan.

Vito mengangkat bahunya, sedikit tersenyum kecil untuk mencairkan suasana. "Gue cuma penasaran aja, Bos. Jarang-jarang ada cewek yang kayaknya peduli banget sama lo."

Leandre mendengus pelan, lalu kembali melangkah menuju sofa di sudut ruangan. Ia duduk dengan posisi santai, menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, tetapi matanya tetap tajam menatap Vito.

"Lo terlalu banyak ngomong soal hal yang nggak penting," ujarnya singkat sambil meraih botol air mineral di meja depan.

"Tapi lo nggak jawab, Ndre," goda Vito, kali ini dengan nada yang lebih santai. "Gue lihat dari cara lo ngomong, dia kayaknya punya sesuatu buat lo, ya?"

Leandre meminum air dari botol itu, lalu meletakkannya kembali ke meja dengan suara pelan. "Nggak ada yang perlu lo pikirin, Vito. Dia bukan siapa-siapa gue, dan gue juga nggak ada urusan apa-apa sama dia."

Namun, kata-kata itu terasa seperti kebohongan kecil, bahkan bagi dirinya sendiri. Bayangan wajah Aveline masih terlintas di pikirannya—cara dia berbicara dengan nada khawatir, tatapan matanya yang sulit diabaikan.

Vito menatap Leandre, lalu tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. "Ya udahlah, Bos. Gue cuma iseng nanya. Tapi serius, kalo cewek itu peduli, lo jangan terlalu dingin. Siapa tahu dia beneran peduli sama lo, bukan sama geng lo."

Leandre tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, mencoba mengalihkan pikirannya dari segala hal yang melibatkan Aveline. Tapi di dalam hatinya, ia tahu kata-kata Vito punya sedikit kebenaran.

"Udah, Vit. Lo ngurusin motor lo aja di bengkel. Gue pengen istirahat," kata Leandre akhirnya, mencoba menutup pembicaraan.

Vito mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Oke, oke, Bos. Gue ngerti. Tapi inget aja, kadang lo perlu dengerin hati lo sendiri, bukan cuma otak lo."

Setelah Vito pergi, Leandre menghela napas panjang. Di ruang markas yang penuh dengan keheningan itu, pikirannya kembali ke satu orang—Aveline. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa hatinya mulai terusik oleh sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

"Bos, yang lo suruh kemarin udah gue kerjain semua bos!" ucap Remy sambil membaringkan tubuhnya di sebelah Leandre.

Leandre melirik Remy dengan ekspresi datar, tetapi ia mengangguk pelan, memberikan tanda bahwa ia mendengar. "Bagus," jawabnya singkat. Ia tak ingin terlihat terlalu peduli, meskipun pikirannya sedikit terganggu dengan kehadiran Remy yang tiba-tiba.

"Bos, lo beneran kelihatan capek," kata Remy, mencoba membaca suasana. "Ada masalah lagi, ya? Atau ada yang gue bisa bantu?"

Leandre menghela napas panjang, lalu menatap langit-langit ruangan. "Nggak ada apa-apa, Remy. Gue cuma perlu waktu sendiri," katanya, suaranya lebih tenang dari sebelumnya.

Namun, Remy tidak berhenti begitu saja. "Kalo nggak ada apa-apa, kenapa lo kelihatan kayak mikirin sesuatu? Biasanya lo nggak kayak gini. Apa ini ada hubungannya sama cewek itu? Gue denger dari Vito soal tadi."

Tatapan Leandre langsung berubah tajam, meskipun ia tetap tenang. "Remy, jangan terlalu ikut campur urusan gue. Fokus aja sama tugas lo," ucapnya, nada suaranya tegas, tapi tidak kasar.

Remy mengangkat tangannya, tanda bahwa ia tidak ingin memprovokasi lebih jauh. "Oke, Bos. Gue ngerti. Tapi... gue cuma bilang, lo kelihatan beda. Itu aja," gumamnya sebelum bangkit dari sofa.

"Selamat beristirahat, bos! Kalau butuh apa-apa, bilang ya!"

Leandre hanya mengangguk tipis tanpa membalas.

***

"Dari mana lo, Vel?" tanya Melly yang sejak tadi menunggu perempuan itu di teras rumahnya. "pasar?" tebak Melly.

"Kagak, gue dari toko buku.. Nih nyari novel!"

Aveline mengeluarkan sebuah buku bersampul biru tua dari tasnya dan menunjukkannya kepada Melly. "Lihat, gue nemu novel bagus tadi. Judulnya Langkah yang Hilang," katanya sambil tersenyum tipis.

Melly mengernyitkan dahi, menatap buku itu sekilas sebelum duduk di kursi teras. "Serius lo? Tadi kayaknya muka lo capek banget, gue pikir abis ke pasar atau ngejabanin kerjaan rumah."

Aveline tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang sebenarnya mengganggunya sejak meninggalkan Leandre tadi. "Ya, gue jalan-jalan aja biar otak gue nggak terlalu mumet. Lagian gue butuh baca sesuatu buat nenangin pikiran."

"Widih, boleh lah nanti gue pinjem! Heheh." ledek Melly.

Aveline tersenyum kecil sambil menyimpan novel itu di atas meja. "Boleh aja, tapi lo tahu sendiri kan, gue bacanya lama. Jadi sabar ya."

Melly mengangguk, "Oke, terima kasih, Vel! Lo emang teman terbaik gue."

Aveline tersenyum, lalu tak lama dari itu sebuah notifikasi pesan dari ponselnya berbunyi. Aveline melirik ponselnya dengan sedikit ragu. Pesan itu berasal dari Leandre Andros.

Malam nanti sibuk gak? Ada yang ingin gue bicarakan sama lo!

Aveline tertegun menatap layar ponselnya. Pesan singkat dari Leandre terasa seperti sesuatu yang asing, terutama setelah percakapan mereka sebelumnya. Ia membaca ulang pesan itu beberapa kali, mencoba memahami maksud di balik kata-kata Leandre yang sederhana, namun terasa berat.

"Ada apa, Vel? Kok lo melamun gitu?" tanya Melly, yang memperhatikan perubahan ekspresi temannya.

Aveline dengan cepat mengunci layar ponselnya dan memasang senyum tipis. "Nggak, cuma pesan biasa aja."

"Dari siapa? Cowok?" goda Melly sambil mencondongkan tubuhnya, mencoba mengintip layar ponsel Aveline.

Aveline menggeleng cepat, mencoba mengalihkan perhatian Melly. "Ah, lo kepo banget! Udah sana masuk, gue mau duduk di sini bentar."

Melly tertawa kecil, lalu mengangkat tangan tanda menyerah. "Oke, oke, gue masuk. Tapi kalo lo butuh cerita, gue di dalam ya."

Setelah Melly masuk ke rumah, Aveline menarik napas panjang. Dia membuka kembali ponselnya, jempolnya bergerak ragu-ragu di atas keyboard virtual. "Apa yang dia mau bicarain? Kenapa sekarang?" pikirnya, dengan perasaan bercampur aduk.

Aveline akhirnya mengetik balasan singkat.

Nggak sibuk. Ketemu di mana?

Hanya beberapa detik setelah mengirim pesan itu, balasan dari Leandre masuk.

Kafe biasa, jam 8. Jangan telat.

Leandre Andros : Dia Tahu Bagaimana Melukai dan MencintaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang