IXOYE'S POV
Setiba di unit apartemen mewah di daerah SCBD, Mas Evander mempersilakan aku masuk. Begitu aku membuka pintu, bau rokok, bir, dan makanan cepat saji langsung menyergap indera penciumanku. Apartemen ini besar, dengan ruang tamu yang luas dan dilapisi karpet mewah. Namun, pemandangan yang ada di depanku jauh dari kesan mewah. Kaleng-kaleng bir kosong berserakan di lantai, bungkus keripik tergeletak begitu saja di atas meja kaca yang kotor, dan tumpukan kertas memenuhi hampir setiap sudut ruangan. Aku menghela napas, merasa ada sesuatu yang hilang.
Dulu, ketika Flora masih menjadi istri Mas Evander, unit apartemen ini selalu terjaga rapi. Dengan sentuhan feminin yang indah, setiap sudutnya selalu terasa hangat. Aku dan Flora lumayan dekat. Setiap ada acara keluarga, pasti kami saling mencari. Dia jago dandan, jago masak, dan jago beres-beres rumah. Flora selalu memastikan semuanya teratur, bahkan barang-barang kecil seperti bingkai foto di meja, atau bunga segar yang diletakkan di meja makan. Diam-diam aku memuji kepintaran Mas Evander dalam hal mencari istri.
Aku terpukul ketika Mas Evander dan Flora bercerai bertepatan dengan penangkapan kakak iparku itu. Mas Evander pernah menjabat sebagai Kepala Seksi di Direktorat Jenderal Anggaran di bawah Kemenkeu. Jabatan basah yang memungkinkan setiap orang gelap mata. Mas Evander adalah salah satunya. Dia ditangkap karena ketahuan korupsi, dipenjara, dan hartanya disita.
Untunglah apartemen ini dibeli atas namaku. Waktu itu aku mau saja tanda tangan AJB apartemen. Aku nggak punya pikiran macam-macam, toh Mas Evander yang bayar. Lama setelah itu, aku baru sadar kalau ini adalah cara agar negara nggak bisa melacak kekayaannya. Yah, Mas Evander memang pintar mengamankan asetnya sehingga nggak semua hartanya bisa diambil negara. Aku belajar trik ini darinya. Belilah barang berharga menggunakan nama orang lain atau nama perusahaan untuk menghindari kemungkinan terburuk.
Mas Evander menutup pintu di belakang kami. "Ix, kamu tidur di kamar sebelah. Saya mau telepon Theo dulu ngabarin kamu di sini biar dia nggak khawatir."
Aku mengangguk sekenanya dan duduk di sofa. Mas Evander mengangkat ponselnya dan menekan nomor Mas Theo. Di layar ponsel, nama "Dora" terpampang jelas. Nama lengkap Theo adalah Theodorus Bayu Laksana. Kadang Mas Evander memanggilnya Dorus, kadang Dory, kadang juga Dora.
"Theo, lo udah balik?"
"Iya, Mas. Ixoye sama Mas?" tanya Mas Theo segan.
"Hm. Dia di apart gue sekarang. Katanya mau nenangin diri. Kalian habis berantem?"
"Biasalah, Mas. Namanya juga rumah tangga. Mas Evan kan juga pernah nikah," ucap Mas Theo.
"Ya, gue cuma mau bilang... Lo harus lebih perhatian sama istri lo, jangan sampai nanti menyesal," suara Mas Evander terdengar serius.
Aku menggigit bibir, nggak ingin mendengarkan percakapan itu lebih jauh. Aku tahu, Mas Evander benar. Aku tahu betul betapa banyak yang kulakukan untuk suamiku, tapi aku hanya ingin dia tahu, aku sudah lelah.
"Ya, aku ngerti," suara Theo terdengar di telepon, disertai hembusan napas panjang.
Mas Evander menutup telepon dan kemudian melirikku. Sikapnya lebih formal jika bersamaku. Nggak ada lo-gue. Dia terkesan menjaga jarak. "Saya mau buat mie instan buat nemenin kerja. Kamu mau?"
Aku menggeleng. "Udah makan tadi di venue."
Mas Evander beranjak ke dapur. Dia memang selalu begitu. Sibuk dengan pekerjaannya setelah bebas dari penjara. Nggak pernah jelas dia kerja apa, hanya saja Mas Evander sepertinya justru lebih nyaman ketika nggak melibatkan orang lain dalam masalahnya.