"Muka lo pucet, Mor. Yakin mau ikut?"
Sira memperhatikan wajah Amora yang tampak lesu dan tidak bertenaga. Meski sudah ditutupi oleh makeup tipis, raut kelelahan di wajah sahabatnya itu masih mampu ditangkap oleh kedua bola matanya.
"Ikut, Ra. Ga masalah kok, cuman mual biasa." Amora mengelus perutnya yang menonjol. Memang sejak kemarin malam, dirinya kembali merasa mual dan pusing. Entah mengapa, padahal sebelumnya Amora merasa baik-baik saja.
"Kangen bapaknya tuh," celetuk Sira.
Amora mendengus. "Apaan sih, Ra."
Sira tersenyum nakal. "Lo ga pernah ngeluh mual dan pusing semenjak nikah sama Anizhar, Mor. Sekarang pas Anizhar pergi, lo malah kumat."
"Hmm, kebetulan aja, Sira. Entar juga baikan, gue cuman butuh healing aja."
"Yaudah, entar kalau tambah parah bilang ke gue ya. Kita langsung pulang," ucap Sira yang diangguki lemas oleh Amora.
Sepanjang perjalanan, gadis itu menatap keluar jendela sambil sesekali mengelus perutnya. Memikirkan ucapan Sira yang ia rasa sangat mustahil. Memang sih perkataan gadis itu ada benarnya, hanya saja dia merasa sangat ragu. Dia yakin ikatan antara anaknya dengan Anizhar belum sekuat itu.
.O.
"Feeling gue gak enak," keluh Anizhar tiba-tiba membuat Varga mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Kenapa? Dada lo sakit?" tanya Varga khawatir saat melihat Anizhar yang mencengkram dadanya.
Anizhar menggeleng. "Ga, bukan dada gue."
Varga merasa bingung dengan jawaban ambigu sahabatnya itu. "Kalau lo ngerasa sakit langsung laporan, Zhar. Lomba ini ga penting daripada kesehatan lo." Sebagai sahabat sekaligus tangan kanan Anizhar, dia tentu saja harus mengutamakan keselamatan pria itu.
Berbeda dengan Anizhar yang langsung menatap tajam Varga. "Tarik ucapan itu. Lomba ini lebih penting dari apapun!"
Varga menghela napas. Menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Sorry, gue cuman ga mau lo dalam bahaya."
Anizhar tidak membalas, karena mendengar suara panggilan dari panitia yang menyuruh para peserta untuk bersiap.
"Sepuluh menit lagi kita akan keluar, tolong para peserta segera bersiap!"
Varga menepuk pundak Anizhar beberapa kali. "Semangat, Zhar!"
"Hm, lo juga."
.O.
"Final untuk gaya ganti perorangan 200 meter putra akan segera dilaksanakan. Para atlet juga telah bersiap-siap dan akan segera keluar!"
Suara komentator menyambut kedatangan Amora dan Sira.
"Sini Mor, duduk dekat gue!" seru Sira semangat dan menepuk tempat di sisinya.
Amora mendaratkan dirinya dengan di kursi sebelah kiri Sira. Pandangannya pun beralih, mengarah ke kolam tempat para peserta mulai muncul satu per satu. Tak butuh waktu lama bagi Amora untuk menemukan sosok yang begitu familiar—Anizhar. Kehadirannya dengan tubuh bertelanjang dada, seketika membuat pipi Amora merona. Pemandangan itu justru menggugah kenangan yang seharusnya telah ia kubur dalam-dalam.
Dengan cepat Amora mengalihkan pandangan ke arah lain saat tanpa sengaja Anizhar juga menatap ke arah tribun mereka.
"Mor, itu Anizhar kan ya? Dia lagi lihat ke sini tuh, cieee!" Sira menepuk paha Amora pelan dengan suara menggoda.
KAMU SEDANG MEMBACA
APRICITY
Teen Fiction"Lo hamil tapi gak tahu siapa ayahnya. Bahkan lo ga mikir gimana lo bisa hamil. Kalau ga tolol apa namanya, bego?" ──── Amora Keylani, gadis beruntung yang memperoleh beasiswa prestasi di Biantara High School. Hidupnya yang biasa-biasa saja membuat...