Haidan memandangi lapangan futsal yang tengah ramai oleh pertandingan futsal antar kelas, rambutnya dibiarkan bergerak kesana kemari oleh hembusan angin, tubuhnya pun bersandar penuh pada pohon besar yang berjarak cukup jauh dari lapangan jadi dapat dipastikan tubuhnya tidak akan menjadi sasaran bola yang kadang keluar tanpa aba-aba.
"nggak main Dan?" tanya Jendra yang baru saja duduk di samping Haidan, Haidan menggeleng pelan.
"join tim gue yuk, masih kurang satu lagi. Si Aden ngundurin diri dari turnamen tiba-tiba" Haidan masih menggeleng, "lu seenggak mau itu ya sekelompok sama gue?" tanya Jendra lagi.
"nggak ah, panas. Gue akhir-akhir ini gampang engap kalo dibawa lari-lari gitu, lagian lu pada kenapa nggak ngajak si Fatir aja sih dia juga pasti jago futsal" jawab Haidan,
"ahh lu mah kaya nggak tau si Fatir aja, lagian kata Jacob pas dulu lu SMP jagoan futsal"
"ya kan dulu gue belum jompo-jompo amat, sekarang tulang gue rewel"
Jendra tidak lagi bersuara, ia ikut memandangi lapangan futsal.
"kalo gitu dateng pas turnamen nanti ya bareng Fatir"
"iyaa, kalo Cuma dateng mah gue usahain, kalo ngga ya bolos les" ucap Haidan diakhiri gelak tawa. "udah ah bentar lagi bel masuk, lu ganti baju dulu sana ketek lu asem" sambung Haidan,
"sialan lo Dan"
Siapa sangka hari seterik ini harus bertambah terik oleh kabar ulangan matematika dadakan, rasanya mengeluh saja sudah tidak sanggup. Disalah satu bangku yang terletak disudut kanan kelas, terlihat seorang anak yang mengerjakan satu soal mati-matian. Keningnya berkerut dalam, jarinya terus mengukir angka-angka tanpa hasil di atas kertas coretan.
"lu udah belum nomor satu? Nih gue kasih tau caranya" ujar Fatih yang duduk di sampingnya,
"gue bisa kok, ini udah di jumlahin tinggal liat hasilnya" dan jawaban Haidan akan selalu begitu, seolah ia tak ingin menyia-nyiakan uang ayahnya yang terpakai untuk membiayai les matematikanya setiap pulang sekolah.
"yaudah deh nih nomor 5, gue kasih rumusnya aja, sisanya lo yang ngerjain kok" Haidan masih kukuh menolak,
"gue bisa kok, lu tenang aja"
Sekalipun Fatir tahu jika Haidan tidak benar-benar mengerti, ia akan tetap menghargai keputusan temannya. Fatir mengalihkan pandangannya pada Jacob yang juga tengah menatap kearahnya. Fatir membuka mulutnya, mengatakan bahwa lagi-lagi Haidan ingin bekerja keras sendiri.
Belum ada lima menit sejak Fatir menawarkan jawaban, ponsel Haidan bergetar kemudian disusul nama Jian yang muncul diatas layar. Ketika berbicara soal Jian sudah pasti tidak akan menjadi nomor dua, karena Jian adalah orang pertama yang selalu Haidan prioritaskan. Diusapnya lambang hijau lalu disusul sebuah suara.
"halo bang" Haidan mengernyit heran, ini bukan suara Jian,
"Jian mana?" tanya Haidan datar,
"bang, ini gue Chandra. Tolong bang si Jian lagi berantem sama anak SMA yang musuh sekolah abang itu bang. Buset bang gue nggak bisa misahin, buruan kesini ya bang" jelas Chandra dengan suara yang sedikit bergetar.
"posisi lo di mana?"
"lapangan deket GOR lama bang" Haidan menelan ludah kasar, haruskah ia kembali ketempat yang sudah lama ia hindari? Mengapa Jian harus menggiringnya pada tempat itu?
"gue kesana" ujar Haidan sebelum akhirnya memutuskan sambungan telepon dan bangkit dari kursinya tanpa menyelesaikan ujiannya.
"Dan lo mau kemana buset? Ini soal ujian lo aja belum kelar udah main berdiri aja" tanya Fatir dengan suara lirih,
"gue ada urusan, ngga usah dikerjain, gue nitip kumpulin aja" ucap Haidan kemudian benar-benar meninggalkan kelas lewat pintu belakang. Fatir menatap Haidan bingung, baru saja ia hendak bangkit menyusul Haidan tapi seruan lirih Jacob membuatnya tertahan.
"Jian lagi dipancing sama anak sekolah sebelah kita, biarin dia dateng duluan nanti kita nyusul setelah ujian selesai" ujar Jendra,
"tapi kalo kenapa-kenapa gimana, dia sendirian"
"gue udah minta lokasinya sama Chandra, temennya Jian" ucap Jendra final.
"Jiandra!!" seru Haidan begitu menginjakkan kaki di lapangan, yang diseru menoleh cepat begitu juga dengan laki-laki dengan wajah babak belur dalam kukungan Jian.
"siapa suruh kamu bolos sekolah?" tanya Haidan dingin, Jian menghempas tubuh laki-laki di hadapannya begitu saja, membuat si pemilik tubuh jatuh ke atas tanah.
"kakak tanya kamu, SIAPA SURUH KAMU BOLOS DAN BERANTEM KAYA GINI?!" bentak Haidan, sorot matanya menyiratkan amarah.
"Jian mau sendiri, Jian nggak terima laki-laki ini ngejek kakak dan fitnah kakak pernah mabuk-mabukan, Jian nggak terima" jawab Jian penuh penekanan di tiap katanya.
"itu bukan urusan kamu, urusan kamu cuma belajar!! Jangan bertindak bodoh kaya gini!!" masih dengan amarahnya Haidan menyudutkan Jian di hadapan lawannya.
"jadi maksud kakak pembelaan aku ke kakak ini bodoh? IYA?! Setelah aku ngebela kakak dari fitnah, kakak bilang aku bodoh?!" mata Jian memanas, hatinya pun turut patah, sekelompok kecewa merayapi hatinya.
"itu bukan fitnah" timpal Haidan mengundang tatapan tak percaya dari Jian, apakah setelah ini kecewa dan dendam untuk Haidan akan bertambah?
"ternyata bener ya kak kata abang, lo emang nggak pantes dibela dan didukung. Lo emang nggak tau diri" suara Jian terdengar sedikit bergetar sebelum akhirnya memukul bahu Haidan cukup keras dan pergi dari lapangan GOR lama.
Tangan Haidan mengepal kuat, matanya menatap nyalang sesosok laki-laki yang tengah terduduk diatas tanah menikmati perdebatan adik kakak dengan wajah babak belurnya. Andrea -laki-laki yang sudah lama tak Haidan temui ini- ternyata masih menyiratkan banyak dendam untuknya, Andrea menyungging pelan.
"selamat atas kehancuran yang kesekian kali" ucapnya menyinggung nasib Haidan,
"bangsat, mau lo apa?" ditariknya kerah Andrea kuat,
"mau lo sengsara, mau lo hancur, mau lo MATI"
"bugh" bogeman mentah mendarat tepat di pipi kiri Andrea,
"ayo pukul gue, bunuh gue. Dan orang-orang bakal tau sebusuk apa lo" bisik Andrea berhasil memancing emosi Haidan dengan sempurna,
"BRENGSEK!!!" Haidan tidak peduli hukuman apa yang akan ia terima setelah ini, tapi demi Tuhan Haidan benar-benar ingin membunuh Andrea saat ini juga.
"Haidan!" sebuah seruan dari kejauhan mulai terdengar bersama langkah cepat yang diperkirakan lebih dari satu orang, tapi fokus Haidan sudah hilang, bahkan pukulan yang ia lakukan sudah dikuasai dendam dan sesak didadanya.
"Haidan udah, Andrea bisa mati di tangan lo" ketiga temannya menyusul, mencoba menyudahi kekacauan yang terjadi. Haidan menulikan pendengarannya, membuat ketiga temannya kewalahan.
"SADAR HAIDAN!!" teriak Jacob seraya menampar keras pipi Haidan kuat, Haidan terdiam, pergerakannya terhenti dengan tatapan kosong. Sedangkan Andrea yang tak sadarkan diri segera ditarik menjauh oleh Jendra dan Fatih untuk segera dievakuasi. Dicengkramnya kuat bahu Haidan,
"sadar Dan, Andrea hampir mati di tangan lo!"
"tap-i di..a juga mau gue mat-i" ujar Haidan lirih masih dengan tatapan kosoongnya, Jacob mengacak rambut frustasi.
"lu berdua langsung bawa Andrea kerumah sakit, Haidan biar gue yang urus" titah Jacob pada dua temannya yang langsung diiyakan.
YOU ARE READING
Kepulan Harap
Teen Fictionsetelah piala kemenangan pertamanya hancur, Haidan kesulitan untuk meraih pialanya yang lain. Haidan percaya jika Tuhan menjanjikan bahagia kepada hamba-Nya yang mau berjuang, lantas bagaimana jika nyatanya Haidan menyerah dan memilih keputusan yang...