Setelah kejadian memalukan tadi, suasana di rumah Meira menjadi canggung, meskipun semua orang mencoba berpura-pura tidak ada yang terjadi. Aku memeluk jaket Meira erat-erat, duduk di sudut ruangan sambil berharap waktu berjalan lebih cepat. Teman-temannya satu per satu berpamitan, termasuk Azizah yang masih menatapku dengan penuh rasa penasaran.
“Terima kasih sudah datang, semuanya,” kata Meira, mengantarkan mereka ke pintu dengan senyum ramah yang biasa.
Aku hanya bisa diam, berusaha tidak membuat kontak mata dengan siapa pun. Setelah semua orang pergi, rumah itu menjadi sunyi. Hanya ada aku dan Meira.
Dia menatapku lama sebelum akhirnya berjalan ke arahku dan duduk di sampingku. “Reza... eh, Rena, kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk, meskipun tahu ekspresi wajahku pasti tidak meyakinkan. “Aku... aku malu banget, Mei,” gumamku akhirnya.
Meira menarik napas panjang, lalu menggenggam tanganku. “Aku ngerti. Tapi aku cuma mau bilang, kamu nggak sendirian. Aku di sini buat kamu.”
Aku hanya bisa mengangguk lagi, tapi kata-katanya memberikan sedikit rasa nyaman di tengah kekacauan yang masih menguasai pikiranku.
“Ayo, aku antar kamu pulang,” Meira mengajak,
Meira bisa bawa mobil sendiri sebenarnya.Kami masuk ke mobil, dan sepanjang perjalanan aku hanya diam. Kepalaku penuh dengan pikiran yang saling bertubrukan—tentang apa yang tadi terjadi, tentang diriku, dan tentang bagaimana semua ini akan berakhir.
Aku duduk di kursi penumpang mobil Meira, tubuhku masih terbalut jaketnya yang harum lembut. Di bawahnya, aku masih mengenakan rok yang tadi dipaksakan padaku selama belajar kelompok. Pikiran tentang bagaimana aku harus kembali ke rumah terus mengganggu.“Reza,” kata Meira sambil melirikku dengan cepat dari balik kemudi. “Kamu mau langsung pulang kayak gitu? Nggak, kan?”
Aku terdiam sejenak, menatap jaket yang kupeluk erat. “Aku nggak tahu, Mei. Aku nggak mungkin pulang kayak gini...”
Dia tersenyum kecil, seolah sudah menduga jawabanku. “Tenang aja. Aku tahu tempat yang aman buat kamu ganti. Ada WC umum di taman dekat sini. Kita mampir sebentar, oke?”
Aku mengangguk pelan, tidak punya pilihan lain. Mobil meluncur dengan lancar ke arah yang dia maksud, dan aku hanya bisa memandangi jalan di luar jendela, merasa semakin cemas.
Beberapa menit kemudian, Meira memarkir mobil di dekat taman kecil yang cukup sepi. WC umum itu terlihat bersih dari luar, dengan papan penanda untuk pria dan wanita yang tergantung di pintunya.
“Kamu bawa seragam cowok kamu di tas, kan?” tanya Meira sambil menoleh ke arahku.
“Iya, ada,” jawabku, suaraku hampir seperti bisikan.
“Bagus. Yuk, aku temani ke sana,” katanya sambil membuka pintu mobil.
Meira membuka pintu WC wanita dan memastikan tidak ada orang di dalam sebelum melambaikan tangan ke arahku. “Ayo, cepat. Nggak ada orang. Aku jaga di sini,” katanya sambil tersenyum tipis.
Aku masuk dengan langkah pelan, menutup pintu bilik di belakangku. Di dalam, aku menatap diriku di cermin kecil di dinding. Bayangan itu kembali membuat dadaku terasa sesak. Aku melihat wajahku yang sedikit lebih lembut karena make-up Meira tadi, jaket yang membingkai tubuhku, dan rok yang membuatku terlihat lebih ramping.
Aku menghela napas panjang. “Ini benar-benar gila,” gumamku sambil mulai membuka blus.
Aku mengganti bajuku dengan cepat, melepaskan pakaian yang membuatku menjadi "Rena" dan kembali mengenakan seragam cowokku yang tadi pagi kubawa di tas. Tapi ketika aku melihat pantulan di cermin lagi, seragam itu terasa aneh. Rasanya seperti aku sedang memakai pakaian yang sudah tidak pas, baik di tubuh maupun di pikiranku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Punya Hormon Cewek
Teen FictionPERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untuk pembaca berusia 21 . Harap bijak dalam membaca dan menghormati batasan pribadi masing-masing. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk konsums...