Matahari sudah naik, sengatannya pun bukan main. Seisi ruangan kelas akhir yang baru saja menyelesaikan hukuman dari pak Tejo sebab nilai matematika yang anjlok bukan main kini mulai terdengar keluh kesah karena lelah dan hawa panas yang benar-benar kronis.
"Remote AC dimana sih?" tanya seorang laki-laki dengan kaos hitam lengan pendeknya, jangan tanyakan kemana perginya seragam sekolah miliknya karena benda itu sudah tergeletak begitu saja diatas meja.
"Udah mentok ini" timpal Jendra
"Ihh Jacob minggir!! Lo bau keringet!!" tukas Ara pada si tukang protes AC yang kini sudah berdiri tepat di hadapan Ara agar mendapat lebih banyak udara. "Dih sok wangi lo"
Suasana kelas benar-benar ricuh, tak seorang pun berniat menenangkan. Hawa-hawa panas di jam-jam seperti ini benar-benar menyiksa, sayangnya untuk mencari angin di luar pun mereka tak ingin -ralat- tak berani. Pilihan hanya dua, dan kali ini tentang menunggu di kelas yang panas sampai istirahat kedua atau lapangan sampai sore hari.
"Dan, gak mau dibuka aja apa seragamnya? Mana double gitu" tanya Fatir pada Haidan yang sedari tadi mesam-mesem tidak jelas.
Lo lagi liat apa sih?" lagi Fatir bertanya sembari menilik layar ponsel Haidan yang menyala.
"Lah, lo nggak ikut apa? Bang Marren wisuda" Haidan menggeleng pelan.
"Gue kelas akhir kalo lo lupa" akhirnya laki-laki itu bersuara.
"Ya secara itu kan bisa izin, acara keluarga loh. Pasti bakal ada acara makan-makan kan? Si Jiandra aja ikut" oceh Fatir panjang lebar.
"Elah cerewet banget sih lo. Lagian ini tuh emang gue yang nolak, lo kan tahu sendiri abis sekolah ada bimbel abis itu nanti ada les matematika" ujar Haidan sambil mematikan layar ponsel dan memasukkannya kesaku celananya.
"Dih, aneh banget sih lo Dim. Kalo gue sih mending izin aja" Dimas terkekeh meihat Fatir yang merasa kesal karena dirinya tidak turut hadir dalam sesi pemotretan wisuda Marren, kakak satu-satunya.
"gue lagi males ngemis izin supaya ikut, lagian gue emang ngga pernah diajak" ucap Dimas dalam hati.
Pukul 8 malam Dimas sudah sampai dirumah, dan kini laki-laki itu sudah bersantai diatas kasurnya dengan jemari yang terus menggulir layar ponselnya.
Jendral; Nyebat sini gue lonely
Fatir; Pusing gue liat chat dari lo isinya ngajak nyebat mulu
Jacob; Berisik ngga diajak
Jendra; Dan, ngga mau join apa? Masih banyak ini
Haidan; Gue ngga suka rokok eceran aplagi lintingan
Jacob; Sialan lo
Haidan terkekeh pelan, sekalipun heran karena dibanding Fatir ia adalah yang paling sering diajak nyebat, bolos sekolah bahkan tawuran. Maklum, Jacob tidak bisa diam di kelas, paling lama sampai istirahat kedua, sisanya pasti sudah lenyap dari bumi sekolah.
Jacob; Bau-baunya besok bakal ada perang lagi nih
Jendra; Wih seru nih. Bawa-bawa sajam ngga nih? Gue males kalo ngga imbang
Jacob; Bawa aja buat jaga-jaga, sisanya udah beres
Haidan tidak tahu bagaimana kedua temannya bisa sejatuh cinta itu dengan tawuran, padahal terakhir kali tawuran Jendra harus menerima luka jahit di kaki dan kepala.
Drrrt,
Haidan tersentak saat panggilan dari Fatir berdering nyaring,
'halo'
'ngga usah ikut tawuran lo Dan, gue geprek lo sampe ikut' bukannya dijawab Haidan malah tertawa lepas,
'lo denger gue ngga? Gue ngga bisa lagi ngingetin Jendra sama Jacob, jadi setidaknya lo ngga ikut-ikutan'
'eum' Haidan berdehem, sedetik kemudian sambungan terputus. Haidan tersenyum, mampu ia rasakan bagaimana ikatan erat yang sudah terjalin di antara ia dan teman-temannya. Tak berselang lama pintu kamar terbuka tanpa aba-aba, menampilkan sosok Jian yang menenteng seplastik oleh-oleh -sepertinya- yang ia bawakan untuk kakaknya yang absen mengikuti acara keluarga hari ini.
"kakak, nih Jian bawain oleh-oleh. Hehe" Jian meletakkan sekantung plastik oleh-oleh itu di atas nakas kamar Haidan sebelum akhirnya duduk di pinggiran kasur.
"wah pake repot-repot segala, jadi enak" timpal Haidan, disambarnya plastik oleh-oleh itu dan dibukanya. Haidan terdiam beberapa saat, ia menelan ludah kasar.
"Jian beli dimana ini?" tanya Haidan,
"ehmm.. tadinya aku mau beli di resto yang beda, tapi kata bunda biar ngga bolak-balik jadi beli disatu resto yang sama pas makan malem" jawab Jian panjang lebar. Haidan mengangguk faham,
"yaudah gih sana ke kamar, tidur. Besok kan kamu sekolah, pasti capek kan seharian pergi?" titah Haidan pada Jian yang kini terlihat sibuk dengan setumpuk buku bacaan Haidan yang sengaja diletakkan di samping bantal.
"kakak makan aja, aku temenin sampe selesai makan kok. Soalnya kakak pasti belum makan dari siang kan, kata bunda juga kalo ngga mau aku temenin nanti biar bunda yang nemenin kakak" tolak Jian tanpa menatap Haidan yang mulai terlihat sedikit panik.
Jam menunjukkan pukul 2 dini hari dan Haidan masih berkutat di kamar mandi, suara gemericik air terdengar semakin jelas beriringan dengan isi perut yang dikeluarkan begitu saja. Tangan Haidan mencengkram kuat pinggiran wastafel, rasanya sudah tidak ada yang perlu ia keluarkan tapi rasa mual masih mendominasi.
Sekembalinya dari kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya, Haidan bersandar pada dinding kamarnya, tubuhnya lemas bukan main juga seluruh tubuhnya yang mulai muncul ruam kemerahan padahal dua pil pereda alerginya sudah ia telan. Haidan melirik kearah seporsi cemilan seafood dan baluran keju yang sudah tandas ia paksa telan di hadapan Jian sebab ia tak ingin ada raut kecewa di wajah adik kesayangannya itu. Lihatlah betapa sialnya ia malam ini.
YOU ARE READING
Kepulan Harap
Teen Fictionsetelah piala kemenangan pertamanya hancur, Haidan kesulitan untuk meraih pialanya yang lain. Haidan percaya jika Tuhan menjanjikan bahagia kepada hamba-Nya yang mau berjuang, lantas bagaimana jika nyatanya Haidan menyerah dan memilih keputusan yang...