Kebakaran

398 38 7
                                    

Dret

"Uhuk ...." Zahra batuk begitu membuka pintu kamar yang akan ditempatinya itu. Seperti sudah dipersiapkan jauh-jauh hari, ruangan paling ujung di lantai dua itu penuh debu, gelap, berisi barang-barang yang sudah tak terpakai, tak ada akses listrik dan air. 

Aditya benar-benar tak ingin melihat Zahra bahagia, maka hal pertama yang dilakukannya adalah menyuruh Zahra pindah ke ruangan itu. 

"Benar-benar ...." Zahra menahan kekesalannya kuat-kuat. 

Baru selangkah dia masuk, cap kakinya sudah ada di lantai yang penuh debu itu. Dua langkah, kecoak dan tikus berlarian. 

"Aaaaaaaa ...."

Binatang-binatang itu lari, dia yang menjerit ketakutan. 

Tiga langkah, dia berkeringat lantatan ruangan kecil itu tak ada plafon, benar-benar tertutup, pengap, dan tak ada jendela. Hanya sebuah ventilasi di atas pintu. 

Tak ada waktu mengeluh, pikirnya. Dia mengambil sapu dan mulai membersihkannya seorang diri tanpa bantuan Lastri, karena dia tak bisa meminta bantuan wanita itu. 

Sepanjang membersihkan ruangan itu, terkadang dia berteriak ketakutan apabila menjumpai tikus dan kecoak.  

"Aaaaaaa ...."
"Aaaaaaa ...."
"Aaaaaaa ...."

Aditya yang tengah membaca buku di kamarnya itu sangat puas mendengar teriakannya. Upayanya memasukkan tikus dan kecoak ke dalam ruangan itu benar-benar tak sia-sia, pikirnya. 

"Mampus," gumamnya. 

Butuh waktu berjam-jam sampai Zahra sukses membersihkan ruangan itu sebelum mulai meletakkan barang-barangnya termasuk alat masak yang didominasi oleh alat masak yang harus terhubung ke listrik itu. Tapi sayang, tak ada akses listrik untuknya. 

"Aish ...." Dia benar-benar kesal pada Aditya.

Tak ada pilihan lain selain pergi membeli beberapa peralatan masak sederhana yang tak perlu menggunakan listrik sebelum kembali ke rumah Aditya.

Tiba-tiba Aditya sudah muncul di pintu kamarnya sambil menyilangkan tangan dengan ekspresi datar. "Saya ini sungguh masih memiliki hati nurani. Kamu boleh mengambil air di keran yang ada di halaman dengan cara diangkat. Selamat berjuang." Dia langsung pergi dengan santai.

Zahra sukses melongo. Itu berarti dia harus mengangkat dari halaman depan menggunakan ember, menaiki tangga ke lantai dua, dan mengisi di bak yang ada di kamarnya. "Astaghfirullah ...." Hampir saja Zahra memaki Aditya jika dia tak mengontrol dirinya. 

Tentu saja Aditya sudah memperkirakan semuanya. Zahra tinggal menunggu penderitaan-penderitaan selanjutnya yang sudah dipersiapkannya. 

Hari sudah sore dan Zahra merasa sangat kelelahan. Dia ingin mandi, tapi kamar mandi benar-benar tak ada air. Berusaha memaksa tubuhnya, dia pergi ke halaman untuk mengambil air menggunakan sebuah ember. Sekuat tenaga dia mengangkat ember itu dan beristirahat setiap kali dia merasa lelah. "Zahra bisa," gumamnya menyemangati diri sendiri.

Baru sampai di lantai dua, Aditya melintas dan langsung menendang ember itu dengan santai sampai air yang diangkat Zahra dengan susah payah itu tumpah dan tergenang di lantai. "Oh ... tidak sengaja. Tolong dibersihkan genangan airnya!" Nada pria itu tenang sekali.

"Hah ...." Zahra melongo dengan terkejut. Sudah kelelahan mengangkat dari lantai satu dan Aditya malah menguji kesabarannya lagi. "Berhenti! Kamu harus bertanggungjawab untuk kesalahanmu!" 

Aditya menatapnya dengan senyum meremehkan. "Ini rumah saya. Siapa yang berani memerintah saya?" Dia pergi begitu saja dengan perasaan menang. Melihat Zahra kesulitan membawa kebahagiaan baru untuknya. Sepertinya akan menjadi hobinya, pikirnya. 

Berbeda dengan Zahra yang sampai menangis lantaran terlalu kesal. Tapi tak ada pilihan lain baginya selain kembali turun ke lantai satu untuk mengambil air menggunakan ember sampai mendekati waktu maghrib.

Saat malam hari, ruangan itu benar-benar gelap. Zahra menyalakan lilin dan menatapnya dengan tatapan sendu. Fisik dan perasaannya benar-benar kelelahan hari itu. 

"Ini baru hari pertama. Sampai kapan aku akan begini?" batinnya. 

Tiba-tiba tatapannya semakin meredup, dan dia sukses tidur dengan tubuh kelelahan.

Baru jam sepuluh malam, dia merasa sangat kepanasan. Bunyi ketukan pintu di luar turut membuatnya tersadar dari tidurnya.

Tok
Tok
Tok

"ZAHRA BUKA PINTUNYA!" 
"ZAHRA BUKA PINTUNYA!"
"ZAHRA?!"

Suara Aditya terdengar sangat kesal di luar. Begitu bangkit dari posisi berbaring, dia terkejut karena sudah ada kobaran api di kamarnya. 

"Hah ...." Manik hitamnya membulat sempurna. Sekuat tenaga dia berlari ke arah pintu dan membukanya dengan cepat. 

Aditya dengan sigap masuk bersama Lastri membawa air di ember untuk menyiram beberapa barang yang terbakar itu sampai api padam. Sementara Zahra mematung di dekat pintu tak tahu harus berbuat apa. Dia teringat lilin yang dibakarnya sebelum tidur itu sebelum menepuk dahi. 

***

"Ganti kerugiannya!" Masih pagi, tapi Zahra sudah ditagih oleh Aditya padahal barang-barang yang terbakar itu hanya barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai lagi.

Namun, Zahra tak ada pilihan lain. Dia merasa bersalah dan memilih menggantinya.

"Berapa?"

"Sepuluh juta." 

Zahra sukses melongo pasalnya itu hanya kebakaran kecil dan yang terbakar pun tak seberapa. "Kenapa sampai sepuluh juta?"

Aditya meliriknya dengan sengit. "Apa gaji pokok dan tunjanganmu sekecil itu? Saya sangat bermurah hati di sini. Kamu bayangkan kalau semalam rumah saya yang terbakar."

"Fine!" Zahra menyerah karena dia tahu Aditya tidak akan menyerah. "Mana nomor rekeningmu?"

Aditya mengambil ponselnya. "Saya kirim." 

Detik itu juga Zahra langsung mentransfer uangnya yang membuat Aditya tersenyum tipis. "Lumayan juga punya istri pekerja ya," ejeknya.

"Nafkah tidak ditunaikan, malah memajak perempuan. Laki-laki macam apa kamu?" Zahra semakin muak dengannya.

Sontak Aditya menatapnya dengan tajam. "Apa kamu bilang?!" 

Keduanya saling melirik dengan tajam dan tak bersahabat sama sekali. Kesabaran Zahra benar-benar terkuras kali ini. Dia banyak berubah semenjak berhadapan dengan Aditya.

Mencari Hati Aditya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang