005 | Langkah Pertama

17 17 0
                                    

Setelah pertemuan dengan Adrian, kehidupan terasa seperti memiliki ritme baru. Aku sering menemukan diriku tersenyum tanpa alasan, mengingat percakapan kami, senyumnya, dan bagaimana dia menatapku dengan penuh perhatian. Namun, meski ada kebahagiaan yang tumbuh, ada pula kecemasan yang samar. Apakah ini keputusan yang tepat? Bagaimana jika semuanya tidak berjalan seperti yang kami harapkan?

Pikiran-pikiran itu muncul di sela-sela aktivitasku. Saat bekerja, saat berjalan pulang, atau bahkan saat aku sedang sendiri di kafe favoritku. Namun, aku mencoba menenangkan diri dengan mengingat momen-momen hangat yang telah kami bagi. Setiap langkah kecil ini, pikirku, adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar.

Hari Sabtu itu, Adrian mengajakku ke taman kota. Awalnya aku merasa ragu, karena biasanya kami memilih tempat yang lebih tenang untuk menghabiskan waktu bersama. Namun, semangatnya membuatku tak kuasa menolak.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu,” katanya saat menjemputku. Ia tersenyum lebar, dan aku merasakan antusiasme dalam suaranya. “Percayalah, ini akan menyenangkan.”

Kami tiba di taman saat matahari mulai merunduk ke ufuk barat. Langit dipenuhi gradasi oranye dan ungu, sementara angin sejuk berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Adrian menggenggam tanganku—gestur yang baru dan mengejutkan, tapi terasa sangat alami.

Dia membawaku ke sebuah sudut taman yang cukup sepi. Di sana, sebuah kanvas besar berdiri di atas penyangga, ditemani berbagai macam cat dan kuas. Aku memandanginya dengan alis terangkat.

“Apa ini, Adrian?” tanyaku, setengah tertawa namun juga bingung.

Dia tersenyum, terlihat puas dengan reaksiku. “Aku ingin kita melukis bersama.”

Aku terkekeh. “Adrian, aku bahkan tidak bisa menggambar garis lurus, apalagi melukis sesuatu yang layak dipandang.”

Dia mengangkat bahu, sama sekali tidak terintimidasi oleh keberatanku. “Bukan soal seberapa bagus hasilnya. Ini tentang melakukannya bersama. Anggap saja ini eksperimen.”

Mau tak mau, aku tersenyum mendengar jawabannya. “Baiklah, tapi jangan salahkan aku kalau hasilnya seperti coretan anak kecil.”

Kami mulai melukis dengan ragu-ragu. Awalnya aku hanya mencoret-coret sembarangan, mencoba mencocokkan ritme dengan goresan Adrian. Dia tampaknya memiliki visi tertentu dalam pikirannya, sementara aku lebih banyak bermain-main dengan warna. Kami tertawa melihat betapa kacau hasil awalnya, namun perlahan, sebuah pola mulai muncul.

Kami berbagi ide tanpa banyak bicara, seolah ada pemahaman diam-diam di antara kami. Dia menambahkan warna gelap untuk membentuk latar, sementara aku menambahkan warna-warna cerah yang mengisi detail kecil. Setiap sapuan kuas terasa seperti sebuah langkah maju, sebuah simbol dari kisah kami yang mulai terbentuk.

Ketika akhirnya selesai, kami melangkah mundur untuk melihat hasilnya. Lukisan itu penuh dengan warna-warna cerah dan bentuk abstrak yang tidak beraturan. Namun, entah bagaimana, semuanya terlihat harmonis.

“Tidak sempurna,” kata Adrian sambil tersenyum, “tapi aku suka.”

Aku menatapnya sejenak, merasakan kehangatan mengalir dalam hatiku. “Aku juga,” jawabku pelan.

Setelahnya, kami duduk di tepi danau, membiarkan angin malam menyelimuti kami. Adrian menatap jauh ke arah air yang memantulkan sinar bulan, lalu berkata, “Karina, aku tahu ini baru awal. Tapi aku ingin kita terus seperti ini—menghadapi segalanya bersama, entah itu hal indah atau sulit.”

Kata-katanya membuat hatiku berdebar. Aku menatapnya, mencoba membaca ekspresi wajahnya, dan menemukan ketulusan di sana.

“Aku juga ingin itu, Adrian,” jawabku. “Tapi aku takut. Bagaimana jika kita tidak bisa menghadapi hal-hal sulit itu?”

Dia menoleh ke arahku, tersenyum lembut. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan pernah menyerah begitu saja. Dan aku berharap kamu juga tidak.”

Kata-katanya menjadi janji tak terucap di antara kami. Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, aku merasa bahwa hubungan kami telah mengambil bentuk yang lebih kokoh. Meski perjalanan ini baru dimulai, aku merasa kami memiliki fondasi yang cukup kuat untuk melangkah lebih jauh.

Ketika kami berpisah malam itu, aku membawa pulang kanvas itu. Aku menggantungnya di dinding kamar, dan setiap kali aku melihatnya, aku teringat pada malam yang menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar.

Hari-hari berikutnya, aku dan Adrian semakin sering menghabiskan waktu bersama. Kami mencoba hal-hal baru, seperti menghadiri konser kecil di taman kota, atau menjelajahi tempat-tempat tersembunyi di kota yang sebelumnya tak pernah kami perhatikan. Bersamanya, hal-hal kecil pun terasa lebih bermakna.

Namun, di balik semua kebahagiaan itu, aku tahu ada tantangan yang menunggu. Aku tahu bahwa hubungan ini tidak akan selalu seindah malam di taman itu. Tapi dengan Adrian di sisiku, aku merasa lebih siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Our First HelloTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang