Siapa yang nungguin kelanjutan Pak Aditya - Luna? Saya lagi hectic kemarin. Sekarang kita lanjut lagi. Tapi sepi banget yang komen. Kencengin komennya biar saya semangat update.
Love,
💋 Bella 💋Pak Aditya terbaring lemah di pasir. Tubuhnya tampak begitu rapuh meski aku tahu dia adalah seorang pria yang kuat. Matanya tertutup, napasnya terengah-engah. Aku duduk di sampingnya, masih gemetar dari kejadian tadi. Aku ingin menangis. Bagaimana kalau Pak Aditya nggak selamat?
"Pak, tolong bangun," pintaku ketakutan.
Tapi Pak Aditya tetap terdiam, matanya terpejam rapat, tubuhnya masih sangat lemah. Aku menggigit bibir, berusaha menenangkan diri, tapi cemas menggerogoti dadaku. Kalau dia nggak bangun, lalu aku harus gimana?
Mungkin Tuhan masih menyayangiku. Aku melihat mata Pak Aditya menggeletar. Perlahan, kelopak matanya terbuka, dan aku langsung merasakan sebuah dorongan lega yang mengalir deras ke seluruh tubuhku. Jantungku berdegup lebih kencang, kali ini karena kebahagiaan. Dia sadar. Akhirnya.
"Pak Aditya..." aku berbisik, suaraku hampir tidak keluar. Aku ambruk di dadanya, kupeluk dia erat-erat, gemetar sedikit karena terlalu banyak emosi yang bercampur.
"Saya kira Bapak nggak selamat," kataku, nada suaraku pecah. "Bapak sempat tak sadarkan diri. Aku takut Bapak nggak akan bangun lagi."
Pak Aditya mencoba untuk duduk, tetapi tubuhnya masih sangat lemah, dan dia terhuyung sedikit, seolah nggak bisa mengontrol gerakannya. Aku langsung meraih lengannya, menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
"Jangan dipaksakan," kataku dengan cepat, masih memegang tangannya erat. Aku merasakan betapa dinginnya kulitnya, masih lemah, dan dia hampir tak bisa berdiri dengan stabil.
Dia tampak bingung, lemah, dan sedikit kesakitan. "Air," katanya dengan suara serak. “Air…”
Aku segera berdiri, memandangi pohon kelapa yang tidak jauh dari tempat kami duduk. Ada beberapa kelapa yang menggantung, cukup rendah agar bisa dijangkau, tetapi aku tahu aku harus memanjat. Tanpa alat tajam, itu akan sulit, tapi aku tak punya pilihan lain.
“Wait here,” aku berkata kepada Pak Aditya, sedikit tidak yakin, lalu mulai berjalan cepat ke arah pohon kelapa.
Setiap langkah terasa berat, tubuhku masih lemah, namun aku tidak punya waktu untuk ragu. Aku mendekati pohon kelapa dengan hati-hati, mencoba menilai cabang-cabang yang bisa menopang tubuhku. Mungkin aku bisa memanjat menggunakan batu besar yang ada di dekatnya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku akhirnya memulai. Rasanya seperti seumur hidup aku tidak pernah memanjat pohon, tetapi kali ini, aku harus melakukannya.
Setelah beberapa usaha yang tidak mudah, akhirnya aku berhasil mendapatkan satu kelapa. Aku meluncur turun perlahan, mencoba menahan napas agar tidak terjatuh. Begitu kaki menyentuh pasir, aku langsung bergegas kembali ke arah Pak Aditya.
“Ada airnya,” kataku, sedikit terengah. Aku memecahkan kelapa itu dengan batu besar yang kutemukan di sekitar pantai dan memberikan sebagian besar airnya kepadanya.
Pak Aditya menatapku, terlihat sangat kehausan. “Terima kasih,” katanya pelan, suara seraknya masih terdengar jelas. Dia meneguk air kelapa itu dengan rakus, dan aku merasa lega melihatnya bisa sedikit lebih baik.
Setelah dia selesai, aku mengambil sedikit air kelapa untuk diriku sendiri. Aku duduk di sampingnya, mencoba menenangkan napasku.
“Semoga ini cukup untuk kita bertahan,” gumamku sambil menatap sekeliling.
Pak Aditya mengangguk, lalu dengan suara pelan berkata, “Saya bisa bantu kalau kamu butuh.”
Tapi, aku menggeleng. "Nggak perlu. Bapak harus pulih dulu." Aku mencoba bersikap tenang, meski di dalam hatiku, aku merasa sedikit ragu. Aku ingin melakukan lebih banyak, tapi tubuhku juga masih lemah, dan aku tahu aku harus mengutamakan keselamatan kami berdua.