Bab 19. RASA YANG INDAH

64 41 31
                                    

안녕하세요👋👋
Happy reading guys!!

19. RASA YANG INDAH

Sejatinya, sesuatu yang indah tidak harus abadi. Cukup pernah terjadi dan mampu melukis senyum, maka sesuatu itu bisa dikatakan indah. Meski itu hanya sementara, ataupun hanya singgah sebentar, tapi dia spesial bagi siapa yang merasakannya.
...

Hari kesepuluh setelah Aland masuk rumah sakit. Sepi, hampa, dan seperti ada yang kurang dalam diri si gadis perindu itu. Hampir setiap hari ia datang ke rumah sakit, dan setiap hari pula rasa sakit mendatanginya.

Aland baru sebentar masuk dalam hidupnya, namun pengaruh cowok itu begitu besar. Bahkan, sepuluh hari belakangan, saat Laksa lebih sering dengannya, gadis itu tetap merasa sepi. Cowok itu membawa perasaannya hanyut terlalu dalam, dan merasa kalau dimensi hanya terikat untuk mereka berdua.

Perempuan itu sebenarnya sudah diingatkan oleh Kelly berkali-kali untuk jangan terlalu sering datang ke rumah sakit, karena dia khawatir Derr mengetahui hal itu dan membawa Maggiera dalam situasi buruk.

Hari ini, Senin. Hari yang paling dibenci oleh banyak siswa. Hari yang sangat diharapkan untuk tidak ada dan tidak pernah ada. Karena apa? Simpel! Jawabannya, upacara. Hei, seharusnya upacara itu tidak menakutkan, upacara dengan khidmat di tengah lapangan, menyanyikan lagu Indonesia raya, mengibarkan bendera, bukankah itu tidak mengerikan sama sekali? Lalu, kenapa banyak siswa-siswi membencinya?

Tak seperti hari-hari biasanya, Maggiera kali ini datang lebih pagi. Ya, beberapa hari terakhir, sebelum berangkat ke sekolah, gadis itu biasanya akan mampir dulu ke rumah sakit. Tidak lama, mungkin hanya lima ataupun sepuluh menit. Tidak ada yang dia lakukan di sana, hanya berdiri diam di depan pintu ruang rawat Aland sembari menatap tubuh lemah cowok di dalam sana. Hanya itu yang ia lakukan.

Dan itu semua, adalah obat dari rasa rindunya.

"Bangun, Al." Hanya kata itu yang selalu ia ucapkan setiap berada di depan ruang rawat Aland. Hanya dua kata, namun mempunyai makna yang begitu dalam.

Maggiera turun dari motor besar Laksa. "Langsung ke kelas?" tanya Laksa. Cowok itu melepas helm-nya, lalu mengigat rambutnya.

"Nggak, gue ke UKS dulu, hari ini gue jadi petugas PMR," jawab Maggiera.

"Gue anterin."

"Nggak usah, Kak."

"Nggak apa-apa, ayo."

Maggiera mengalah, ia berjalan berdampingan dengan Laksa melewati koridor-koridor yang mulai ramai. Beberapa siswa terlihat menata mereka dengan tatapan aneh dan bingung.

Mereka sebenernya pacaran nggak, sih?

Pelakor sih ini, baru juga sebentar Kak Laksa putus sama Kak Dina, udah diembat aja ama tuh anak!

Pengen iri, tapi masa irinya sama pelakor

Kak Dina nggak marah apa?

Anjing, bukannya udah pernah masuk rumah sakit ya gara-gara dipukul si Dina, masih berani juga deketin Laksa dari kemarin-kemarin

Berbagai umpatan dan kata-kata cemoohan keluar tanpa beban dari mulut-mulut sampah para siswa Sanastra. Mereka berbicara seolah-olah mereka paling sempurna, mulut mereka mencerca seolah-olah apa yang mereka katakan itu benar, dan tak menyakiti perasaan orang lain. Benar-benar sampah!

"Nggak usah dengerin, Ra," bisik Laksa dengan mata yang menatap Maggiera begitu lekat.

"Kenapa juga hari ini nggak pake earphone? Bukannya udah gue suruh, kan?" lanjut Laksa lagi. Ya, beberapa hari ini ia selalu menyuruh Maggiera memakai earphone untuk menyumbat telinganya, biar sekalipun banyak siswi yang membicarakan mereka, gadis itu tak perlu repot-repot makan hati mendengarnya.

MAGGIERA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang