21. Kisah Usang

Mulai dari awal
                                    

Waktu-waktu panjang yang akan dilewatinya di dalam penjara, akan ia habiskan untuk beribadah. Mendekatkan diri pada Tuhan sembari merenungi kesalahan-kesalahannya semasa hidup di dunia.

Hari berganti--

Mobil kijang dengan warna hitam pudar milik ketua RT membelah jalanan tanah kuning kering dengan empat rodanya. Di dalam mobil tersebut, terdapat pasangan suami istri yang duduk di depan juga seorang wanita yang bersandar lesu.

Ditemani oleh Delima dan Wijaya, Medila mengunjungi kembali desa asri yang sebenarnya begitu dipenuhi dengan keindahan. Namun, desa itu memiliki kenangan yang tak mengenakkan untuk suaminya.

Desa ini cukup unik, tidak peduli walau cuaca terik hingga tanahnya menjadi kering, kabut masihlah terlihat-- walau tipis.

Kala menoleh ke luar jendela, pohon-pohon seakan menyapa kedatangan mereka-- usai menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan, senyum kecil terbit di bibir. Ia akan mencoba untuk kuat mulai saat ini untuk kedua putranya yang masih bersekolah. Bersyukurnya ia, jika sedari dulu, dirinya memang bekerja sebagai juru masak rumah sakit. Bagaimana jika sendainya ia tidak berpenghasilan, memikirkannya saja membuat Medila merasa miris.

Desa ini indah, tak sepatutnya dipandang buruk. Baiklah, ia akan mencoba berdamai.

Mungkin, ia masih bisa berpikir demikian. Namun, Medila jelas sadar akan ada satu anak yang tidak akan pernah bisa berpikir demikian lagi. Itulah tujuannya datang ke tempat ini, walau tidak bisa menyembuhkan setidaknya Medila ingin berusaha memberi pengobatan.

Mesin mobil dimatikan, saat mobil terparkir di bahu jalan. Ketiga orang dewasa itu keluar dengan serentak.

Tak jauh dari posisi mobil diparkirkan, seorang anak kecil duduk menjuntai kaki di sebuah kursi lebar-- dengan pandangan sendunya yang menatap ke arah bawah. Di sampingnya terdapat Rajad, ia menamani tetangga kecil nakalnya menunggu jemputan dari keluarga yang mengatakan akan bertanggung jawab terhadap masa depan anak itu.

Di belakang tubuh mereka terdapat beberapa barang yang ingin dibawa oleh Sutrosmo.

Melihat kedatangan orang-orang yang ditunggu, Rajad menghela napas lalu berdiri. "Apa aku bisa mempercayai kalian?"

"Itu pasti. Aku bersumpah atas nyawaku, akan memperlakukan Sutrosmo selayaknya putra kandungku sendiri," jawab Medila dengan senyumnya yang dipenuhi ketulusan. Setelah saling berjabat tangan, wanita itu berjalan perlahan ke depan Sutrosmo dan berjongkok di depannya.

Bagai foto usang menguning berbingkaikan memori--retak kacanya usai dipukul palu, begitulah pemandangan Medila yang berjongkok sembari menggenggam hangat kedua tangan dari anak remaja tersebut.

|Malapetaka 1980|

"Juan ... kabur!"

Teriakan demi teriakan mengalun bagai genderang tanda perang-- begitu berisik.

Debu beterbangkan kala langkah kaki dipacu di atas tanah. Terlihat ada empat orang remaja  sedang memainkan permainan gasing sendal-- sebuah permainan tradisional, di mana sandal jepit dilempar untuk menjatuhkan susunan genting kecil. Tugasnya sederhana, menjatuhkan, menyusun kembali, lalu kabur sebelum terkena lemparan balik dari tim lawan.

"Key!!! BISA MAIN GAK, SIH?!" Teriakan Juan yang terdengar frustasi, adalah hal biasa bagi mereka yang mendengarnya.


Empat tahun telah berlalu selama Sutrosmo hidup bersama mereka. Saat ini remaja itu sedang berdiam diri di ambang pintu, sembari menyilangkan tangan-- matanya sayu menatap hingga akhirnya tepukan pelan pada bahu menyadarkan ia.

Malapetaka 1980 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang