"Masyaallah ... Kedengaran sampai sini ombaknya!" seru Khadijah senang.

Khairil terkekeh. "Iya, dari sini dekat. Kalau jalan kaki mungkin lima menit."

"Ayo kita ke sana Aa!"

Khairil menggeleng, menyuruh Khadijah untuk kembali naik dan melanjutkan perjalanan mereka yang tinggal beberapa menit. "Kita ke rumah Bukde dulu."

Khairil berbelok tidak jauh dari jembatan tadi, memasuki perkampungan yang tidak terlalu ramai.

"Di desa ini juga ada salah satu makan Syekh, nanti kita lewati, tapi kita ke rumah Bukde dulu."

Masuk beberapa ratus meter, Khairil menunjuk sebuah masjid yang di belakangnya terdapat makam yang dimaksud, tapi mereka tidak berhenti dan melanjutkan perjalanan sampai tiba di sebuah rumah panggung tua.

Terlihat seorang wanita tua duduk di teras sambil mengira-ngira siapa yang berhenti di halamannya.

Khairil turun dan membantu Khadijah melepas helmnya, lalu masuk setelah mengucap salam.

"Khairil, po? Nggak bilang bilang mau ke sini," katanya seraya menyalami Khairil dan menepuk bahunya.

Khairil hanya tersenyum, menarik Khadijah pelan dan memperkenalkan. Mereka sedikit mengobrol sambil menunggu Pakde yang katanya sedang di kebun, tidak lama kemudian Pakde datang membawa ember berisi ikan kecil.

"Lagi tanam apa di kebun, Pakde?" tanya Khairil.

"Kita udah nggak punya kebun. Dijual tahun lalu, dan sekarang cuma bantu urus punya orang," jawabnya.

Khairil mengangguk kecil. "Nggak ternak juga ya?"

"Susah urus ternak sekarang, rumput udah jarang. Harus ngarit di desa yang jauh, itu pun nggak selalu ada," jawabnya seraya menyeruput kopi. "Mau ketemu ibumu lagi?" tanya Pakde.

"Iya, semoga kali ini Ibu mau ketemu menantunya," jawab Khairil.

Khadijah menoleh, dia pikir Ibu memang ingin bertemu, tapi ternyata tidak?

"Oh iya, saya mau tanya. Apa sebelum Ibu ke sini dan ke Jogja, Ibu ada ketemu sama Bapak lagi? Atau laki-laki lain sebelum suaminya sekarang?" tanya Khairil.

"Kita nggak tau apa pun tentang ibumu selama di kota. Yang kita tau setelah dia pulang, dia janda."

Khairil menghela napas kecil, firasatnya belum tentu benar tapi kecil kemungkinan salah.

"Mau langsung ke Jogja?" tanya Bukde.

Khairil mengangguk kecil. "Kita mau langsung ke sana aja. Mampir dulu sebentar ke sini. Sekalian mau ziarah ke makam Mbah."

Bukde dan Pakde mengangguk, menyuguhkan makanan yang mereka punya. Khairil dan Khadijah bertamu selama dua jam dan setelahnya segera pamit sebelum hari semakin siang.

Seperti yang dijanjikan, mereka singgah di masjid tadi untuk berziarah di makam Syekh.

"Ini makamnya Syekh Abdul Jalal. Ayo masuk."

"Sepi ya," ucap Khadijah.

"Iya, biasanya ramai kalau bulan tertentu. Ayo ke belakang." Khairil menunjukkan lebih dulu sebuah foto yang dipajang, tertulis silsilah keluarga Syekh Abdul Jalal.

"Ada yang bilang kalau beliau itu keturunan Rasulullah dari Syaidina Hasan, cuma saya belum nemu sumber yang valid, dan di sini cuma di tulis silsilah beliau yang keturunan kerajaan."

Khadijah mengangguk. "Tahun berapa itu, Aa?"

"Abad 17, beliau diutus untuk berdakwah di pesisir selatan ya tepatnya di sini." Khairil mengajak Khadijah ke makam yang di maksud lalu berdoa untuk almarhum Syekh Abdul Jalal.

KhairilijaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang