Stok kesabaran Zubair memang harus seluas samudra. Bagaimana tidak? Saat dirinya akan mengantarkan Hanum pulang. Gadis itu enggan sekali mengganti baju, dengan alasan jika baju yang di pinjamnya itu adalah baju mendiang istrinya.
Entah alergi atau memang tidak ingin memakai barang-barangnya. Gadis itu lebih baik memakai bajunya yang kebesaran ketimbang memakai baju gamis, peninggalan almarhumah istrinya.
“Kamu tidak malu memakai baju kebesaran seperti itu? Sudah baik saya pinjami kamu baju bekas Fatimah. Kenapa kamu tidak mau memakainya?”
“Ogah. Daripada aku pakai baju istri kamu, lebih baik aku pulang telanjang,” jawab Hanum, saking tidak maunya memakai baju bekas Fatimah.
Zubair menghela napas panjang. “Ya sudah, terserah kamu. Tapi sebelum pulang, saya mau ajak kamu ke toko baju. Mengganti baju seragam kamu yang rusak.”
Hanum mengangguk. “Terserah. Aku ikut kemanapun Om bawa. Apalagi bawa Hanum ke pelaminan, ayok-ayok aja.”
“Ngawur!”
***
Absen atas nama Hanum Nurfajria Khodijah diterangkan Alfa, karena tidak ada kabar sama sekali kepada pihak sekolahan. Geby, Arin dan Sasha kompak saling pandang, melempar berbagai pertanyaan yang ingin mereka torehkan sedari kemarin sore.
“Hanum sengaja gak masuk, ya? Apa dia takut kita interogasi?” Geby mengetuk-ngetukkan dagunya berpikir.
Arin menggeleng, “Kayaknya enggak, deh, Geb. Hanum aja belum tahu kalau kita pernah mergokin dia lagi bincang-bincang sama Guru baru itu. Mana mungkin Hanum ngehindar? Kecuali kalau dia punya indera keenam.”
“Iya, Geb. Kamu jangan salah sangka dulu ... gak baik tau!” Sasha menyahut setuju.
Geby berdecak sebal. Lalu setelahnya ia mengusulkan. “Gimana kalau kita datengin rumahnya? Siapa tau Hanum gak masuk gara-gara sakit, 'kan?”
“Tapi di absen Hanum gak ada keterangan apa-apa. Kalau sakit biasanya ada konfirmasi dari keluarganya atau dari pihak rumah sakit, lah ini? Gak ada sama sekali woy!” Sasha berkata heboh.
“Siapa tau mereka lupa izinin, ishhh daripada kita bingung kayak orang dongo gini. Lebih baik kita samperin aja rumahnya langsung,” ujar Arin yang langsung diangguki oleh kedua temannya itu.
“Oke, deh. Sepulang sekolah kita samperin rumah Hanum. Itung-itung ngelongok dia yang gak masuk sekolah hari ini 'kan?”
Ketiganya mengangguk kompak. Setelah itu mereka melanjutkan kegiatan belajarnya hingga suara bel istirahat berbunyi. Para siswa maupun siswi berbondong-bondong ke arah kantin, lapangan, ataupun pedagang kaki lima yang hanya diperbolehkan berdagang di luar gerbang sekolahan.
***
“Ini bener 'kan alamat rumahnya?” tanya Geby sedikit ragu, lantaran pintu gerbang rumah Hanum masih terkunci rapat, seperti tidak ada penghuninya.
“Kata Pak Nando sih, bener. Coba pencet bel nya, Sha.”
“O-oke, bentar.”
Ting nong!
Ketiga gadis itu saling pandang satu sama lain. Hingga Sasha, pelaku pemencet bel menggaruk-garuk tengkuk lehernya. “Kok sepi ya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Godaan Sya'ir Zubair
Random💫[SEQUEL PEJUANG SEPERTIGA MALAM]💫 Kehidupan di dunia ini ibaratkan air laut yang pasang surut. Kesedihan bisa saja datang kapan saja, namun kebahagiaan juga dapat menghampiri secara tiba-tiba. Oleh karena itu, hiduplah sesuai dengan narasi Sang P...