14

86 33 2
                                    

Reece tidak melepaskannya bahkan setelah Preston jatuh menyedihkan. Dia meraih bagian depan pakaian Preston, telunjuknya kemudian mengarah ke wajah pria itu. "Sekali lagi kudengar kau menyebutnya dengan cara seperti itu, aku akan membuat kau membayar dengan tubuhmu. Aku bisa menghancurkanmu dengan mudah, Preston. Kau harusnya tahu itu. Aku hanya tidak melakukannya bukan tidak bisa." Reece melepaskan pria itu dengan kasar kemudian.

Camila mendekat dan menatap Reece dengan wajah tidak terbaca.

Reece menyentuh pipi Camila, memberikan elusan lembutnya. "Jangan dengarkan yang dia katakan, dia bukan siapa-siapa."

"Aku tahu. Dia bukan siapa-siapa," ulang Camila.

Reece menarik nafasnya dan menghembuskannya perlahan. Dia melihat Camila meraih tangannya dan menatap buku jarinya yang kemerahan. Gadis itu menunduk sedikit dan meniupnya, Reece yang melihat itu menghangat hatinys.

"Kau terluka," ucapnya.

"Tidak masalah. Luka kecil."

Camila memasukkan jarinya ke sela kosong jari Reece. Dia menatap Preston sebentar yang sudah berdiri dengan bantuan Tamra. Melengos kemudian saat pria itu memandangnya. Setelahnya dia menarik Reece pergi dengannya.

Camila tahu ada beberapa tempat kosong yang memiliki mesin penjual minum otomatis. Dia membawa Reece ke salah satunya dan mendudukkan pria itu di kursi besi panjang. Kemudian Camila membeli satu minuman botolan dan menyerahkannya ke Reece.

"Aku tidak haus, kau saja yang minum," tolak pria itu.

"Bukan untuk diminum, Bos." Camila duduk di sebelah Reece kemudian, meraih tangan pria itu dan meletakkannya di atas pahanya di mana Camila menyilangkan kakinya.

kemudian dia menempel botol dingin itu di buku jari pria itu yang masih merah. Dia melakukannya dengan perlahan. Wajah Camila terus menunduk menatap buku jari pria itu yang dia sukai. Tangan Reece panjang dan ramping, jenis yang akan kau sukai sampai menggilainya. Dilihat lebih dekat, semakin kau menyukainya.

"Aku boleh bertanya?"

Camila mengangkat pandangannya, dia meneliti mata pria itu yang sangat ingin tahu. "Tanya saja, tumben kau perlu izin, Bos."

Reece tersenyum agak sedikit tidak nyaman, tapi apa yang ingin dia tanyakan jelas begitu besar keinginannya untuk tahu jawabannya. Jadi tidak masalah meski sedikit agak tidak nyaman. "Kau sungguh menikmatinya."

"Hah? Apa?"

"Yang kau katakan pada Preston barusan ... soal pria yang tidur denganmu."

Awalnya Camila tidak dapat mencernanya dengan benar. Tapi beberapa saat kemudian dia ingat apa yang dikatakannya pada Preston soal pria yang tidur dengannya. Bagaimana dia mengatakannya dengan percaya diri kalau dia menikmatinya.

Suara batuk Camila terdengar kemudian. Gadis itu bahkan menyerahkan botol itu ke tangan Reece. Dia mengalihkan tatapannya ke arah lain. Wajahnya sudah bersemu merah. Matanya tertutup dengan tidak nyaman. Bagaimana cara mengatakannya kalau dia sama sekali tidak mengatakan kebenaran. Itu hanya untuk membuat Preston sakit hati, tapi dalam detik yang sama, Camila merasa tidak salah dengan yang dia katakan. Dia memang mengarangnya tapi seluruh tubuhnya malah menyetujui pada apa yang dia katakan.

"Aku bukannya mau ikut campur pada masalahmu. Jika kau tidak nyaman ...."

"Bukan tidak nyaman," sela Camila. Teguh sekarang pandangannya jatuh pada Reece. "Sebenarnya, aku mengarangnya. Apa yang aku katakan pada Preston, itu kebohongan."

"Jadi kau tidak menikmatinya? Bahkan tidak menyukainya?"

Camila heran kenapa ada nada kecewa dalam pertanyaan Reece. Kenapa dia yang harus kecewa? Dan juga kenapa Camila merasa bersalah. "Aku hanya mau mengatakan kalau segalanya buram. Malam itu, aku tidak jelas. Aku tidak tahu bagaimana segalanya berakhir di ranjang itu. Tidak banyak yang aku ingat, hanya sedikit kilasan."

Reece diam menatap ke mesin minuman otomatis.

"Bos, apa kau marah padaku?"

"Marah? Untuk apa?" Reece menatap dengan tangan menepuk kepala Camila lembut.

"Dengan urusan pribadiku yang membuat sakit kepala, jika kau tidak tahan, aku tidak akan mempermasalahkanmu."

"Urusan pribadimu adalah milikmu. Tapi jika kau sampai terluka oleh masalah pribadimu sendiri, aku bisa yakinkan padamu kalau aku akan selalu melindungimu. Aku akan berdiri di sisimu dan tidak akan pernah meninggalkan sisi itu."

Camila mendesah dengan lega. "Selama kau tidak marah. Kurasa tidak masalah."

"Apa marahku sangat menakutkan hingga kau begitu khawatir?"

"Bukan masalah menakutkan. Aku hanya tidak suka saat kau marah, itu membuat aku tidak nyaman. Seperti aku lebih suka kau tidak marah pokoknya padaku."

Reece tersenyum.

"Untuk apa senyuman aneh itu?"

Reece mendekat, sangat dekat sampai hidung mereka berbenturan. "Apa sangat aneh?" bibir itu semakin melebarkan senyumannya.

Camila beku menatap ke arah bibir yang menggoda itu. Warnanya begitu segar. Begitu menarik dan begitu menggoda untuk dicicipi. Dia benar-benar menginginkannya.

"Bos, sudah waktunya."

Wajah Camila segera berpaling. Menatap ke arah pria yang menjadi asisten Reece. Camila segera berdiri dengan gerakan tidak nyaman, mengendalikan diri berusaha terlihat normal saat gempuran perasaannya menjadi lebih nyata dan lebih menyesakkan.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Reece yang menyadari kegusarannya.

Camila menatap bosnya dengan gelengan. "Tidak apa-apa."

"Kalau begitu kita pergi bersama."

Camila menggangguk mempersilahkan.

Reece melangkah dengan senyuman yang disembunyikan. Sudah jelas godaannya sangat berhasil. Dia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk memulai segalanya. Membawa kelinci kecilnya yang nakal masuk ke dalam perangkapnya. Kemudian mengurungnya. Lalu menjadikan kelinci itu menjadi miliknya sepenuhnya. Tidak boleh ada serigala lain yang menginginkannya. Siapa pun yang mencobanya, Reece akan melepaskan taring mereka dan membuatnya menjadi serigala ompong.

Reece mengulurkan lengannya. "Ayo pergi."

Camila mengambil dokumen yang dia tinggalkan tadi di kursi. Membawanya di satu tangan dan tangan lainnya masuk ke lengan Reece. Pria itu membimbingnya berjalan bersama.

Mereka berjalan sembari membahas strategi yang tepat untuk mendapatkan Canza ada di tangan mereka.

Tiba di ruang pertemuan, Camila tidak perlu mencari, pasangan itu sudah berada tepat di depan matanya. Mereka terlihat seperti pasangan yang sedang datang beradu romansa. Karena jelas Tamra bukan bagian dari orang terlibat pada Canza. Dia jelas tidak mengerti soal bisnis karena wanita itu selalu sibuk mempercantik diri. Camila bahkan mendengar dulu kalau Tamra mau membuka salon. Mungkin jika dia menekuninya, Tamra akan berhasil. Karena Camila bisa melihat dari dandanannya sendiri kalau Tamra tidak sekedar suka-suka berdandan. Dia memiliki kemampuan yang harus dikembangkan.

Tapi soal membuka salon kecantikan, itu hanya dibahas satu kali dan tidak pernah ada yang mengungkitkannya lagi setelah itu. Camila dulu sempat pernah ingin bertanya, tapi dia terus lupa. Sekarang mereka tidak memiliki hubungan dan Camila juga tidak peduli dengan mimpi Tamra. Karena sepertinya cukup berada di sisi Preston membuat segala mimpi yang dia miliki lengkap.

Cinta memang kadang bisa menang di atas segalanya.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Mistake With Boss (SEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang