当得到帮助时,如果不说谢谢。至少不要做坏人(Ketika ditolong, kalau tidak mengucapkan terima kasih. Setidaknya jangan menjadi orang yang jahat)
Pio menatap nanar ke kotak bekal yang disuruh ibunya untuk diantarkan ke rumah sakit Yusoo tempat Rani bekerja. Hari ini Pio tidak bekerja ke kantor karena memang pekerjaannya bisa dilakukan di rumah saja. Karena Pio terus berada di kamar, menonton drama Korea. Ratun menyuruhnya untuk mengantarkan makanan Rani, sekalian supaya Pio bisa keluar rumah menghirup udara segar.
“Tumben banget Ibu bekalin kak Rani,” kata Pio sambil menciumi aroma dari kotak bekal yang harum. Pio tebak di dalamnya pasti berisi lontong sayur buatan ibunya yang sangat enak.
“Mau diantar kemana, mbak?” tanya supir taksi melirik Pio dari spion mobil.
“Rumah sakit Yusoo, Pak,” jawab Pio. Dia sengaja tidak naik motornya dan naik taksi saja, karena cuaca pagi ini sangat panas. Bisa sia-sia scincare mahal Pio apabila terkena panas matahari.
Sesampainya di rumah sakit, Pio sedikit terkejut dengan suasananya yang sangat ramai padahal masih sangat pagi. Dia memang pernah dua kali berkunjung ke sini, tetapi tidak pernah sampai masuk ke dalam rumah sakit. Pio sekarang yang hanya mengenakan gaun tidur dibawah lutut dibalut sweter tebal itu pun berjalan masuk ke rumah sakit. Langkah kakinya membawa Pio menuju ke bagian administrasi.
“Permisi, saya mau tanya. Ruangan dokter Rani sebelah mana, ya?” tanya Pio.
Aisyah yang kebetulan sedang shift saat itu tersenyum ramah ke Pio, dia kenal dengan Pio, karena fotonya ada di ruangan Rani.
“Ruangan dokter Rani, kakak tinggal lurus saja ke ujung, belok kiri. Ketemu perempatan, belok kiri lagi, di ujung ada ruangan dengan papan nama dokter Rani,” jawab Aisyah.
Pio mengangguk paham. “Makasih, ya."
Belum sampai ke ruangan Rani, Pio melihat seseorang yang terlihat tidak asing. Dia lah Libra, dokter yang tempo hari membuatnya kepikiran. Libra terlihat sedang berbicara dengan seorang perawat, Pio tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk berbicara lagi.
“Mas dokter.”
Libra berbalik badan, dilihatnya Pio yang seperti biasa, murah senyum, sedang menatapnya.
“Jadi begitu, dok. Saya sudah bilang untuk mengikuti prosedur rumah sakit, tapi dia menolak,” jelas Dimas, salah satu perawat yang bekerja di sana.
“Jangan dengarkan dia dulu, kita tunggu kakaknya untuk memutuskan pengobatan selanjutnya,” kata Libra, Dimas mengangguk paham.
“Mas dokter, tau ruangannya kak Rani, nggak? Boleh anterin saya,” kata Pio. Hitung-hitung kalau Libra mau, dia akan mengajak Libra untuk makan lontong sayur bersama Rani. Sekaligus untuk mengorek tentang hubungan keduanya.
“Dimas, kamu bisa antar dia ke ruangan dokter Rani,” kata Libra, Dimas tentu saja langsung mengangguk mengiyakan. Pio menjadi galau mendengar hal itu, bahkan Libra tidak menolehnya saat berbicara. Sepertinya memang Libra kesal dan marah akibat kejadian di mall. Itu memang salah Pio.
“Saya akan membawa Ibu saya pergi!”
Terdengar suara teriakan pria dewasa di lorong rumah sakit, beberapa perawat juga berlarian mengerumuni depan satu ruangan rawat inap. Atensi Libra beralih ke sumber suara tersebut, dia berjalan santai melewati Pio begitu saja. Tanpa memperdulikan keberadaan Pio sejak tadi.
“Kalian tidak bisa mencegah saya, anaknya, untuk membawa Ibu saya pergi!” Galih, usianya sekitar empat puluh tahun, dia nekat dan memaksa untuk membawa ibunya yang sedang sakit serta tengah dirawat untuk pulang ke rumah. Padahal, wali ibunya adalah kakaknya sendiri. Katanya Pak Galih ini juga sedang mengalami gangguan psikologis.
“Pak Galih, Bapak tenang dulu, Pak,” kata Eka, perawat di sini. Dia juga terlihat takut untuk mendekati Galih yang sedang marah.
“Bagaimana aku bisa tenang, hah! Aku anaknya, aku mau membawa ibuku pulang!” Kata Galih dengan wajah merah akibat amarah yang tanpa sebab itu.
Libra mendekati Galih untuk memberi penjelasan. “Pak, Ibu anda sedang ditanganin oleh dokter dan perawat di sini, kami sedang berusaha membuatnya sembuh, Pak. Kalau anda mau membawanya pulang, anda bisa menghubungi kakak anda sebagai walinya. Kalau tetap mau membawanya pulang tanpa persetujuan, jujur saja kami tidak akan membiarkan itu, Pak,” kata Libra dengan wajah serius. Pio yang penasaran juga mendatangi kerumunan itu, dia mendekat untuk memastikan apa yang terjadi.
“Saya tidak mau!”
“Kalau begitu, dengan terpaksa kami akan memanggil satpam,” kata Libra. Bukannya takut atau menyerah, Galih dengan cepat merebut pisau yang tengah dibawa oleh satu orang perawat, dia berniat mengantarkan itu untuk di sterilisasikan, tetapi, Galih dengan cepat merebutnya dan menodongkan ke semua orang yang ada di sana. Semuanya spontan mundur menjauhinya.
“Pak Galih, dengarkan saya. Tidak perlu pakai kekerasan,” kata Libra, masih mencoba untuk menenangkan Galih, tetapi sepertinya tidak mempan. Karena Galih masih menodongkan pisaunya ke semua orang. Pio yang posisinya berada dekat dengan Galih, melihat sedikit celah. Entah dapat dorongan dari mana, Pio malah memegang tangan Galih yang memegang pisau. Niatnya hanya supaya pisau itu terlepas, tetapi malah pisau itu terayun dan mengenai tangannya sendiri.
Semua orang di sana berteriak histeris, Libra bahkan langsung memukul tangan Galih, membuat Pisau yang sudah berdarah itu terjatuh ke lantai. Dimas dan beberapa perawat lainnya dengan sigap memegangi Galih, walaupun berontak, dia tetap tidak bisa melepaskan diri. Libra langsung menghampiri Pio yang memegangi tangan kirinya, darah mengalir di tangan sampai jatuh ke lantai. Pio tidak takut atau pun jijik, dia hanya sedikit syok saat melihat luka yang tidak kecil itu.
Libra memegang tangan Pio untuk mencegah darah yang keluar, wajahnya sangat pucat pias melihat darah yang tidak kunjung berhenti keluar.
“Shh … ini cuma keiris dikit,” ringis Pio sambil memandangi wajah Libra yang panik. Dia ingin menenangkan semua orang disana yang terlihat khawatir.
“Teriris sedikit apanya, lihat ini!” Dalam hati Pio sebenarnya juga menampik ucapannya, lukanya tidak kecil, tetapi dia tidak sepanik Libra.
“Biar saya bantu obati.” Eka berjalan mendekati Pio.
“Tidak usah, ayo!” Libra menarik tangan Pio yang berdarah dan membawanya pergi dari kerumunan orang. Bahkan Dimas dan Eka yang melihat kejadian itu tertegun, jarang-jarang dokter galak itu bersikap tidak biasa.
*****
“Shh ….”
“Tadi bukan situasi yang mengharuskan kamu untuk ikut campur,” kata Libra, tangannya cekatan menyeka darah dengan kapas dan mengoleskannya obat merah. Beruntung luka sayatan itu tidak dalam, hanya menggores kulit, tetapi darahnya memang keluar cukup banyak. Libra masih sibuk berkutat memperbannya.
“Kalau saya nggak ikut campur, semua orang di sana bisa terluka,” kata Pio sambil menatap wajah Libra dari samping. Bisa Pio lihat, wajah Libra yang lelah, dan juga ada sedikit raut wajah khawatir.
“Terus ini, apa.” Libra sengaja menekan sedikit ujung luka Pio dengan perban, membuatnya mengaduh kesakitan.
“Sakit, Mas dokter,” keluh Pio.
Pintu ruangan Libra dibuka dari luar, Rani terlihat masuk dengan wajah panik.
“Pio astaga, lo nggak apa?” tanya Rani menarik Pio yang sudah selesai diobati Libra, diputarnya tubuh Pio untuk melihat bagian mana yang terluka. Saat pandangannya jatuh ke tangan yang diperban, kening Rani mengerut.
“Nekat banget, sih,” katanya memukul pelan lengan Pio yang satunya.
“Hehe … ini udah diobatin mas dokter, kak,” jawab Pio dengan senyuman canggung.
“Syukur deh, lo baik-baik aja. Makasih, ya, Lib,” kata Rani, Libra mengangguk.
Melihat interaksi canggung Libra dan Rani membuat Pio tersenyum penuh arti. Pio penasaran sebenarnya ada masalah apa hingga kakaknya dan Libra bisa putus, sangat disayangkan karena mereka terlihat sangat cocok. Saat ini tidak tepat, Pio akan mengorek informasi lagi nanti. Pio berpamitan dengan Libra dan diantar pulang oleh Rani. Dia bahkan lupa sudah meninggalkan lontong sayur di meja administrasi Aisyah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salah Jodoh [Revisi Terbit Novel]
General FictionSalah Jodoh, kok bisa? Pria yang awalnya Scorpio cintai malah menikah dengan sang kakak. Lebih rumit lagi saat mantan pacar kakaknya, Libra, malah melamar Scorpio. PLAGIAT JAUH-JAUH, GUE SANTET LO KALAU MASIH BERANI‼️