3

192 50 5
                                    

Camila kemudian menatap mama dan papanya, dia sudah melanngkah menjauh dari mereka semua. Menatap mereka dengan penuh pandangan sayang untuk terakhir kalinya. "Memutuskan hubungan hari ini, aku tahu kau merasa aku pantas mendapatkannya. Tapi, Ma, kebencianmu padaku, aku tidak tahu bagaimana cara menebusnya. Jika aku bisa memilih untuk tidak dilahirkan dari rahimmu dan membuatmu menderita, maka aku akan memilih itu. Tapi, Ma, tidak ada anak yang bisa memilih kepada siapa dia harus menyebut ibu."

Mamanya menatapnya dengan pandangan tidak terbaca. Jelas goyah tapi terlalu keras kepala untuk mengakui diri tidak bersalah.

Apalagi mereka memberikan klaim kebencian pada selembar foto yang tidak mereka ketahui bagaimana mulanya. Mereka hanya terlalu malu untuk mencari tahu, jadi bukannya memastikan foto itu benar, mereka lebih dulu menyalahkan segalanya pada Camila. Dengan cara begitu segalanya akan menjadi lebih mudah bagi mereka. Membuat satu anggota keluarga lebih mudah, dari pada memperjuangkan kebenaran yang belum pasti kebenarannya.

Cara termudah yang mereka lakukan menyakiti satu orang tapi mereka tidak peduli. Selama mereka bisa tetap membuat pondasi keluarga kokoh. Di mata mereka, membuang anak kandung sekalipun tidak masalah. Karena bagi mereka hancurnya keluarga adalah masalah yang sebenarnya.

"Jadi, Ma, aku minta maaf. Aku bersungguh-sungguh. Maaf sudah lahir ke dunia ini dan maaf karena menjadi anakmu."

Jayla yang mendengar anaknya sendiri meminta maaf padanya tampak hancur. Dia sudah hendak bergerak maju tapi pelukan Tamra menahannya.

"Ma?" Tamra mempertanyakan.

Melihat kesedihan di mata Tamra, Jayla kembali dengan sikap keras kepalanya. Dengan tuduhan Camila pada Tamra, sudah dapat dipastikan kalau anaknya yang salah. Mana mungkin Tamra akan berbuat buruk pada kakaknya. Mereka semua tahu sifat Tamra bagaimana. Dia selalu mementingkan keluarga di atas segalanya.

Camila menatap papanya kemudian. Dia tersenyum. "Pa, aku selalu membanggakan sikap tegas yang kau miliki."

Bernard mendengus. Memalingkan wajah tanpa sedikit pun peduli.

"Tapi saat sikap tegas itu diberikan padaku, pada kesalahan yang sama sekali tidak kuperbuat, itu menyakitiku, Pa. Aku terluka kau melakukan segala tuduhan itu padaku. Tapi tidak masalah, sekarang aku bukan anakmu lagi. Kau bukan papaku lagi. Kebanggaaan yang aku miliki pada papaku biar terkubur bersama matinya hubungan kita."

Kemudian Camila menatap semua orang dan mendesah. Dia menarik diri dan berbalik pergi. Meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Bahkan tasnya dia tinggalkan di sana. Dia tidak mengambilnya. Meski dia melihatnya, dia tidak berniat membawanya.

Jika bisa, Camila juga akan meninggalkan pakaian yang dia kenakan. Selama ini dia hanya membeli semuanya dengan uang dari keluarga Buckley. Setelah putusnya hubungan, mana mungkin dia akan mau menggunakan uang keluarga itu. Itu namanya tidak tahu diri.

Tapi dia tidak bisa melepaskan pakaiannya di depan banyak orang, dia tidak seberani itu. Jadi dia dengan menahan tidak tahu dirinya membawa pakaian itu.

Dia baru bekerja belum sebulan di sebuah cabang perusahaan. Dia coba mencari pengalaman, tampaknya sekarang dia harus menekuni apa yang dia kerjakan. Karena dia hanya bisa makan dari pekerjaan itu. Dan juga tempat tinggal, memikirkannya membuat sakit kepala.

Saat langkahnya tiba di depan rumah, hujan turun dengan deras. Sore sudah hendak menjelang dan sebentar lagi malam akan segera tiba. Dia tidak mau tampak menyedihkan di depan mereka semua. Jadi dia tidak peduli dengan hujan, Camila bergerak menerobosnya. Bahkan tidak memakai payung. Dia dengan hujan deras itu melangkah dalam airmata deras yang menganak sungai. Hujan menyembunyikan airmatanya.

Tapi seluruh kesedihan dan duka yang ada di wajahnya sama sekali tidak bisa disembunyikan.

Laura menatap ke arah jalanan panjang yang tidak memiliki ujung, dia terus melangkah sampai kakinya terasa sakit. Tapi berhenti juga tidak akan membuat dia lebih baik jadi meski dengan kaki tertatih, dia tetap melangkah.

Sampai dia mencapai batas mampunya, dia jatuh duduk dengan tubuh meringkuk. Memeluk lututnya sendiri dengan suara keras menangis dan berteriak. Kemudian dia memakai kedua lututnya untuk menyembunyikan wajahnya. Mendengar suara guntur yang seperti menabrak bumi. Sepertinya semesta benar-benar tengah mengujinya.

Ujian ini terlalu berat baginya, terlalu menyakitinya sampai rasanya dia ingin mati saja. Tapi saat memikirkan dia mati dengan banyaknya kebencian, Camila takut dia akan menjadi arwah gentayangan yang penuh dendam.

Segalanya berputar dengan cara tidak benar. Entah di mana letak salahnya? Di mana letak kelirunya? Apa segalanya memang sudah salah sejak awal? Mungkin sejak Tamra dibawa masuk ke rumah, semuanya sudah salah.

Tapi hubungannya dengan Tamra selama ini baik-baik saja. Dia tidak pernah memperlakukan Camila dengan buruk dan begitu sebaliknya. Orangtua mereka juga tidak buruk dalam melakukan Tamra. Apa yang didapat Camila, Tamra juga mendapatkannya. Lantas kenapa segalanya menjadi salah?

Sikap Tamra memang agak berubah sejak Camila dan Preston menjalin hubungan. Preston sendiri berteman dengan Tamra cukup baik. Tapi Camila dapat yakin tidak ada cinta di antara mereka. Apa memang Tamra menyembunyikannya? Mungkinkah selama ini Tamra mencintai Preston? Jika benar begitu maka segalanya dapat dibenarkan. Dan pria yang bersamanya? Siapa dia sebenarnya? Itu hanya beberapa foto yang menunjukkan dirinya, sementara pria itu tidak terlihat wajahnya.

Jika dia mengenal pria itu mungkin mudah baginya meminta pria itu mengatakan apa yang sebenarnya terjadi malam tadi. Tapi dia tidak mengenalnya. Dan juga jika Tamra memang menjebaknya, besar kemungkinan pria itu suruhannya. Menyuruh pria itu bersaksi untuknya, sepertinya tidak mungkin.

Saat Camila sedang sibuk memikirkan seribu hal di kepalanya, dia merasakan hujan di atas kepalanya berhenti mengitik. Tapi hujan itu sama sekali tidak berhenti, dia tahu. Itu membuat dia mengangkat kepalanya dan menemukan payung hitam di sana. Warnanya begitu pekat.

"Apa malaikat maut membawa payung sekarang untuk mengambil seseorang?"

"Kau ingin aku mengambil nyawamu?"

Camila yang mendengarnya menatap ke sampingnya, menemukan seorang pria di sana yang memberikan tatapan tidak terlalu peduli. Dia sepertinya sedang lewat dan tengah berbuat amal baik padanya. Itu membuat Camila berdiri dengan kedua tangan ada di depan tubuhnya.

Menunduk sedikit, Camila merasa begitu sial sekarang.

"Tanda yang bagus."

"Ya?"

Pria itu menyentuh lehernya. Camila yang merasakan sentuhan pria itu agak menyengat perasaan segera bergerak mundur. Dia menarik diri dan memandang pria itu dengan penuh perlawanan.

"Bos, apa yang kau lakukan?"

"Semalam sepertinya kau mendapatkan percintaan yang panas."

Mendengarnya Camila menyentuh lehernya, dia belum sempat melihatnya. Tapi sepertinya dia memang benar-benar tidur dengan seseorang. Kemudian pria itu melarikan diri pagi harinya meninggalkannya yang tidak tahu apa-apa. Camila juga mengingat sakit pada bagian kewanitaannya saat dia terjatuh, malam tadi jelas segalanya benar-benar di luar kendalinya.

Mistake With Boss (SEN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang