“Mengapa kau belum juga berhasil mengambil hati Haruno Sensei, Sasuke?” tegur Jiji seraya berkacak pinggang. “Apakah kau tidak khawatir bahwa di luar sana mungkin ada banyak sekali pria-pria tampan yang mengincar Sensei?”
Sasuke bertopang dagu dan memandang keluar jendela. “Itu bukan urusanmu.”
“Ku rasa itu sudah menjadi urusanku karena orang-orang semakin bertanya-tanya apakah akhirnya kau berkencan dengan Sensei!”
Ganno terkekeh. “Sensei selalu berubah menjadi pemalu setiap kali orang-orang bertanya tentang hubungannya denganmu.”
“Mengapa mereka selalu mau tahu urusanku?”
“Karena sekarang Sensei menjadi pengunjung setiamu. Bahkan ia mengunjungimu sebanyak dua kali dalam satu minggu di luar hari pemeriksaan.”
“Tenanglah, Jiji,” ujar Penjira seraya tersenyum geli. “Kau seperti sedang cemburu.”
“Tentu saja tidak. Apa kau lupa bahwa aku telah memiliki Margo? Aku adalah pria yang setia. Tapi ada satu hal yang membuatku kesal.” Jiji meletakkan telapak tangannya di permukaan meja dengan tepukan keras lalu membungkuk ke arah Sasuke. “Jika aku menjadi kau, Sasuke, aku bakal melakukan sesuatu yang akan membuktikan bahwa Sensei adalah milikku.”
Penjira tersipu malu. “Bukankah terlalu cepat untuk menjadi intim?”
“Apa maksudㅡya ampun! Pikiranmu terlalu mesum!” seru Jiji dengan pipi memerah. “Yang ku maksudkan adalah dengan memberi Haruno Sensei cincin. Itu akan menjadi tanda bahwa dia sudah memiliki pasangan.”
Ganno mengangguk setuju. “Para pria di luar sana sudah pasti akan menjauh setelah melihat cincin di jari Sensei.”
“Cincin pasangan? Tapi bagaimana cara mendapatkannya, Jiji? Tidak ada benda seperti itu di sini.”
Jiji mengusap dagunya. “Nah, itu hal yang sedang ku pikirkan sekarang.”
Sasuke mengerjap pelan dan menegakkan tubuhnya. Ia menoleh ke arah Jiji dengan raut wajah yang tidak terbaca. “Cincin?”
“Mungkin kita bisa membuatnya. Siapa yang bisa mematahkan sendok?”
“Yang benar saja, Penjira. Bukan sendok yang akan patah nantinya tapi tulang tangan kita.”
“Mungkin Makabe bisaㅡ”
“Tutup mulutmu sekarang juga atau aku akan mematahkan lehermu.”
Sasuke kembali menatap keluar jendela. Ia mengabaikan percakapan teman-teman satu selnya lagi. Ia memilih sibuk dengan pikirannya sendiri, meskipun sejujurnya tidak banyak yang ia pikirkan.
Kemudian lama waktu berlalu sebelum sebuah senyum tipis terbentuk di bibirnya.
*
Ketika waktu bebas selama satu jam di luar ruangan akhirnya dimulai, Sasuke langsung pergi menuju pohon di halaman yang bunganya sudah bermekaran. Ia mengamati secara dekat pohon tersebut sembari berjalan mengelilinginya. Pohon itu sudah berumur sekiranya belasan tahun jika dilihat dari bentuk batangnya.
Sementara ia berada di halaman, para tahanan yang lain pergi ke lapangan untuk berolahraga atau sekadar bersantai di bawah sinar matahari. Jiji dan yang lain memilih untuk melihat pertandingan basket di lapangan. Hampir semua tahanan berkumpul untuk menonton pertandingan basket antara tim Hidenki dengan tim Kuroko. Sorak sorai dari para penonton pun sudah terdengar.
Sasuke berhenti di bawah pohon dan mengangkat tangan ke arah dahan yang paling rendah. Ia menyentuh ranting-ranting yang lebih tipis, mengamatinya, lalu terdiam. Tak lama ia pun tersenyum lebar dan mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Cure
Short Story"Aku adalah pria buruk dengan segala kejahatan. Satu-satunya yang ku butuhkan adalah dirinya. Memang bukan yang utama, tapi yang terbaik." Uchiha Sasuke ㅡ about his love 🌸