Hampir dua bulan sudah Dirga melewati hari dan pergantian tahun di rumah sakit. Namun, belum ada progres yang signifikan pada pemulihannya pasca operasi amputasi. Luka bekas operasi masih belum sembuh sepenuhnya. Sesi fisioterapi pun seringkali berakhir sebelum waktunya karena Dirga kelelahan. Dirga pun sering melewati hari-harinya hanya dengan diam melamun, sama sekali tidak ada keinginan dan usaha untuk sembuh.
Melihat semua itu, Dirga akhirnya diizinkan pulang. Dengan harapan suasana di rumah yang lebih nyaman dibanding rumah sakit, dapat membuatnya lebih bersemangat menjalani hari dan proses pemulihan. Sepanjang perjalanan pulang, Dirga hanya duduk diam melihat ke luar jendela. Sangat berbeda dengan keadaannya tiap kali pulang dari rumah sakit selama ini, yang selalu ceria dan tidak bisa berhenti mengoceh selama perjalanan.
Ketika mobil melewati pagar rumah menuju halaman, jantung Dirga makin berdegup keras. Perasaannya campur aduk, tapi sekuat tenaga ia tidak ingin menunjukkan semuanya dan hanya memasang ekspresi datar. Dirga sungguh merindukan rumahnya, tapi kali ini ia sungguh takut untuk melewati pintu rumah itu. Karena ia tahu, rumahnya kini tak lagi sama. Rumah besar itu akan terasa sangat sepi dan kosong karena telah kehilangan sumber kehangatannya. Dan dia lah penyebab utama sumber kehangatan itu pergi untuk selamanya.
"Bunda bantu dorongkan, ya," tawar Maya, yang langsung ditepis oleh Dirga.
"Dirga bisa sendiri!" tolak Dirga tegas. Tangannya langsung memegang pelek tangan pada roda dan menggerakkannya, membawa kursi roda yang mengangkut tubuhnya meluncur menuju teras rumah. Namun, Dirga seketika berhenti saat berada di sisi teras. Ia lupa ada undakan yang harus dilalui untuk naik ke atas teras dan masuk ke dalam rumah. Sudah jelas dirinya tidak bisa membuat kursi rodanya terbang untuk melewati rintangan tersebut.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba Bayu muncul di hadapan Dirga. Tanpa bicara apa pun, Bayu langsung sedikit mengangkat bagian depan kursi roda. Masih bingung dengan yang sedang terjadi, Dirga sedikit tersentak saat merasakan ada dorongan dari arah belakang. Saat kepalanya menoleh, ia melihat Maya sedang mendorong kursinya dari belakang. Dalam sekejap, masalah yang tadi tidak bisa dipecahkan oleh Dirga telah terselesaikan dengan baik dan cepat oleh mereka berdua.
Dirga menunduk dalam dan hanya pasrah saat Maya mengambil alih mendorong kursi roda tanpa meminta izin lagi padanya. Hatinya sakit. Bahkan belum lima menit Dirga tiba di rumah ini, tapi dia sudah menunjukkan betapa merepotkan dirinya kini. Sekarang Dirga tidak bisa lagi masuk ke dalam rumah tanpa bantuan. Bahkan saat turun dari mobil pun ia membutuhkan bantuan agar tidak terjatuh dan bisa duduk di atas kursi roda dengan aman.
"Den Dirga."
Dirga sedikit tersentak saat sebuah tepukan pelan di pundak dan suara lembut Maya masuk ke telinganya. Baru Dirga sadari dirinya kini sudah berada di tengah rumah dan Maya sedang berlutut di sisinya. Mengajaknya berbicara.
"Den Dirga pasti masih lemes, ya? Mau enggak kalau istirahatnya di kamar bawah aja? Sekalian pindah seterusnya ke kamar bawah juga enggak apa-apa," tanya Maya dengan sedikit ragu.
Darah Dirga seketika mendidih. Jika kepulangannya ke rumah hanya untuk menyerangnya dengan badai fakta tentang betapa payah dan menyusahkannya dia kini, Dirga lebih baik terus berada di rumah sakit selamanya hingga ia mati. Meski Maya tidak menyebutkannya, tapi Dirga sepenuhnya mengerti kenapa dia disarankan pindah ke kamar bawah. Sudah jutaan kali Dirga pulang ke rumah setelah bermalam di rumah sakit. Tak sekali dua kali ia pulang setelah hampir meregang nyawa, bahkan pernah pula sempat kehilangan nyawa beberapa menit. Namun, baru kali ini ia diminta untuk pindah ke kamar bawah. Dirga tahu, semua itu karena kini ia pulang sebagai orang cacat, yang bahkan tidak bisa naik ke teras rumah sendiri, apalagi untuk pergi ke kamarnya di lantai dua.
"Bilang aja kalau sekarang Dirga cacat, jadi Dirga enggak bisa naik tangga ke lantai dua! Enggak usah sok-sok bilang Dirga masih lemes! Ini bukan pertama kalinya Dirga pulang dari rumah sakit setelah hampir mati!" seru Dirga dengan suara bergetar menahan amarah. Bukan marah pada Maya, tapi marah pada dirinya sendiri yang telah menjadi seonggok manusia tak berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Green Sketchbook
Teen FictionDirgantarra Hanenda lelah dengan hidupnya. Trauma masa lalu pun membuatnya semakin menutup diri dari pergaulan. Namun, semua berubah ketika Tiara dan Kirana hadir di kehidupan Dirga. Perlahan, tembok pembatas yang dibangunnya pun runtuh. Rahasia ya...