03:30
Dring... Dring... Dring...
Ponselnya berdering terus, tiga kali berturut-turut. Dengan cepat, dia mengangkat panggilan dari nomor asing tersebut. Suara perempuan di seberang telepon terdengar singkat dan tegas, "Apa?! Baik. Saya segera kesana."
Kirana berlari cepat menuju tukang ojek yang sudah menunggu di depan rumahnya. "Jalan, Pak!" katanya sambil memanjatkan doa dalam hati, berharap semuanya tidak terlambat. "Pak, bisa ngebut dikit?" tanyanya dengan nada mendesak.
Setelah perjalanan panjang, Kirana akhirnya tiba di tujuan. Gedung tinggi bertingkat sepuluh tersebut menyambutnya dengan kesan yang mengkhawatirkan. Degup jantung Kirana semakin kencang, kecemasan memuncak di wajahnya.
"Terima kasih, Pak!" ucap Kirana sambil menyerahkan uang kepada tukang ojek. Dia berlari cepat memasuki gedung besar itu, kecemasan terlihat di wajahnya. Saat berlari, dia tidak sengaja menabrak seorang wanita.
Kirana berhenti sejenak, menatap wanita tersebut dengan rasa bersalah. "Maaf, Bu, maaf. Saya tidak sengaja," ucapnya dengan suara lembut.
Wanita itu menatap Kirana dengan ekspresi peduli. "Kamu tidak apa-apa? Sepertinya kamu sedang terburu-buru?" tanyanya dengan nada lembut.
Kirana tersenyum tipis dan mengucapkan, "Duluan ya, Bu. Ada keadaan darurat." Wanita paruh baya itu mengangguk dan membalas senyum Kirana sebelum Kirana bergegas pergi.
Kirana berlari tergesa-gesa di sepanjang koridor rumah sakit, terus-menerus meminta maaf. "Maaf, permisi!" katanya kepada setiap orang yang menghalangi jalannya, sehingga orang-orang tersebut langsung memberinya jalan.
Kirana berhenti di depan meja suster, napasnya terengah-engah. "Maaf, Suster, saya mau bertanya," katanya dengan suara terputus-putus.
Suster tersenyum ramah. "Tentu, apa yang bisa saya bantu?"
Kirana langsung menjelaskan, "Saya mencari kamar nomor urut enam puluh, di lantai kelima. Tolong, Suster!"
Suster menjawab, "Kamar enam puluh, lantai kelima, koridor B. Silakan naik elevator di sebelah kiri."
Kirana memasuki lift dan memencet tombol lantai lima dengan cepat. Namun, lift tidak bergerak. Dia memencet tombol itu lagi, kali ini dengan kesal. "Ayolah!" katanya frustrasi, khawatir tidak bisa tepat waktu.
Lega, lift akhirnya berhenti di lantai lima dan pintunya terbuka lebar. Tanpa menunggu lama, Kirana berlari keluar mencari kamar nomor enam puluh. Dia terus berlari di koridor B, matanya memandang nomor-nomor kamar.
Kirana terus mengulangi kata-kata itu sambil berlari di koridor, "Kamar nomor urut enam puluh, kamar nomor urut enam puluh..." Dia meminta maaf kepada setiap orang yang dilewatinya, "Permisi! Permisi! Maaf!"
Orang-orang di koridor tercengang melihat Kirana berlari dengan cepat. Bibirnya tersenyum lega saat menemukan kamar yang dicari. Dengan hati berdebar, Kirana membuka pintu kamar itu pelan-pelan. Raut wajah khawatir terpancar di wajahnya, campuran antara kecemasan dan ketakutan.
Ceklek
Kirana berlari mendekati tempat tidur, matanya terfixed pada sosok yang terbaring lemah. "Bunda! Bunda gapapa?!" katanya dengan suara terputus-putus, penuh kecemasan.
Valeni tersentak kaget mendengar suara Kirana. Matanya terbelalak, melihat putrinya berlari memeluknya erat. Wanita paruh baya itu menyunggingkan senyum lemah dan mengelus-elus rambut Kirana dengan lembut. "Kirana, Nak... aku baik-baik saja," katanya dengan suara lembut.
Kirana menangis, matanya sembab. "Bunda, kan Kirana sudah bilang, jangan antar kue lagi. Biar Kirana saja yang nganterin pesanan pelanggan. Bunda jangan capek-capek," katanya sambil memeluk Valeni erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEWARA THE SERIES (On Going)
Teen Fiction(TAHAP REVISI) Ketika tiga pribadi berbeda-introvert, arogan, dan humoris-bersatu dalam persahabatan, perbedaan sifat dan agama tidak menjadi penghalang. Mereka malah menjadi tak terpisahkan. Hati yang indah kini jauh dari pandanganku. Aku menyesal...