Reza akhirnya menyelesaikan secangkir teh hangat dan mencoba menenangkan pikirannya. Namun, rasa cemas masih terus membayang, apalagi melihat bahwa tidak ada balasan dari dokter hingga saat ini. Dia menaruh handphone di sampingnya dan memaksa dirinya fokus pada pelajaran.
Reza (sambil menarik napas panjang): "Oke, fokus aja dulu. Kalau terus dipikirin, malah tambah stress."
Reza kemudian melanjutkan membaca catatan matematika, mencoba mengingat kembali rumus-rumus dan konsep yang akan diujikan besok. Meski pikirannya sering terdistraksi oleh perubahan fisiknya, dia berusaha sebaik mungkin untuk tetap berkonsentrasi.
Beberapa jam kemudian, handphone-nya bergetar. Reza langsung meraihnya dengan cepat, berharap itu adalah balasan dari dokter.
Reza (melihat pesan masuk): "Akhirnya ada jawaban juga."
Pesan tersebut dari layanan konsultasi online yang dia hubungi. Dokternya menanyakan gejala-gejala yang Reza alami dan meminta beberapa detail lebih lanjut sebelum memberikan diagnosis.
Reza mengetik dengan hati-hati, berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada tubuhnya. Dia merasa gugup, tapi tahu ini adalah langkah penting untuk memahami apa yang terjadi.
Reza (mengetik pesan): "Aku lagi ngalamin perubahan fisik tiba-tiba, terutama di bagian dada. Ukurannya bertambah sedikit, dan ini terjadi setelah aku demam. Belum lama ini tubuhku terasa lebih sensitif juga, dan aku gak yakin ini normal."
Setelah mengirim pesan tersebut, Reza merasa sedikit lega. Dia tahu setidaknya dia sudah mulai mengambil langkah untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, rasa cemas masih menguasainya.
Reza (berpikir): "Gue bener-bener gak ngerti kenapa ini bisa terjadi. Gak ada yang aneh sebelumnya."
Beberapa menit kemudian, ponselnya kembali bergetar. Dokternya merespons, mengatakan bahwa perubahan seperti yang dialami Reza tidak umum terjadi hanya karena demam, dan kemungkinan ada faktor hormonal yang mempengaruhi tubuhnya. Dokter menyarankan agar Reza melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
Reza (membaca pesan, merasa sedikit cemas): "Hormonal? Gue harus periksa lagi?"
Dokter juga menyarankan agar Reza tetap tenang dan segera membuat janji untuk pemeriksaan langsung di klinik atau rumah sakit. Pesan itu membuat Reza semakin sadar bahwa ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.
Reza (berpikir keras): "Kayaknya gue gak bisa ngelawan ini sendirian. Harus segera cari waktu buat periksa."
Reza memandangi layar handphonenya, menatap notifikasi balasan dari dokter. Ada rasa ragu yang tiba-tiba menyergap di dalam dirinya. Balasan yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang, tapi sekarang, perasaan takut dan khawatir mulai menguasainya.
Reza (dalam hati): "Aduh, gimana kalau dokternya bilang ini serius? Atau gimana kalau aku harus tes macam-macam? Aku... gak siap buat semua itu."
Dia menekan tombol pesan, membuka balasan dari dokter. Pesannya singkat, dokter siap menjadwalkan konsultasi online kapan saja Reza merasa nyaman. Tapi pikiran Reza malah berputar-putar, membayangkan kemungkinan terburuk. Dia mulai merasa tidak yakin dengan keputusannya untuk menghubungi dokter.
Reza (berbicara sendiri): "Gue bener-bener nggak siap buat ini. Kalau ternyata ini penyakit aneh, gimana? Atau kalau dokternya nanya-nanya soal hal-hal yang gua nggak ngerti... gue takut makin pusing."
Reza duduk di tepi tempat tidurnya, berusaha menenangkan diri, tapi kecemasan semakin merambat ke seluruh tubuhnya. Bayangan harus menjelaskan semua gejala ini ke dokter membuatnya merasa semakin tertekan. Dia membayangkan berbagai pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan, tes yang mungkin harus dia jalani, dan hasil yang mungkin tidak dia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Punya Hormon Cewek
Teen FictionPERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untuk pembaca berusia 21 . Harap bijak dalam membaca dan menghormati batasan pribadi masing-masing. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk konsums...